17 Maret 2011

Memaknai Hati

Bisa jadi hidup memang sengaja diciptakan saling bertentangan,  berlawanan, dan berbeda satu sama lain, agar arus yang berputar mengelilingi masa tetap seimbang.
Mungkin saja, ketidak seragaman itu menjadikan aku dan mereka berfikir sejenak, merenung sesaat, berbisik pada jiwa, bertanya pada hati kecilnya. Kenapa dan bagaimana hidup bisa bertentangan seperti ini. Bukankah perbedaan hanya mengundang perpecahan dan penderitaan. Bukankah semua itu hanya kesia-siaan semata.
Tapi bagiku tidak, semua ketidak seragaman itu pasti ada ruang di dalamnnya untuk kita renungi dan maknai. Dengan maksud agar kita senantiasa selalu bersyukur kepadaNya dalam situasi dan kondisi apa pun.
Semisal apa yang aku alami saat ini. Dulunya, aku benar-benar mencintai dan menyayanginya melebihi apa pun, bahkan jika ditakar dengan waktu, aku tak pernah memberikan ruang kosong untuk tak memikirkannya, menyayangi dan memperhatikannya. Bagiku dia segala-galanya, sebab pada sosoknya aku menemukan panutan, pada kerlingan matanya aku mendapatkan kedamaian, pada senyumnnya yang seruling bercermin aku menemukan kesejukan, pada lembut suaranya aku menemukan kehangatan. Sepertinya tak ada yang tersisa dari sebagian hatiku, segalanya habis telah aku labuhkan pada dermaga cintanya. Hidup ini telah ditentukan oleh sang Rabbi, begitu juga dengan nasib cinta dan rindu. Jika ia berkehendak siapa yang bisa menghalangi, tak ada dan tak bisa.
Seperti berbalik sepersekian persen, tak ada lagi definisi cinta, tak ada lagi sapaan mesra, tak nampak lagi kecriaan yang dulu selalu menghiasi. Sejak beberapa bulan yang lalu, semuanya telah terenggut. Apa yang ada saat ini?, hanya kebencian dan dendam yang tersisa.
Kenapa aku harus membenci?, entahlah aku juga tak begitu memahaminya, aku juga tak terlalu risau dengan kondisi ku saat ini. Yang jelas, setiap aku melihat sesuatu yang mengigatkanku padanya, hatiku berontak, menggeram dan memaki. Meski tak ada yang menyuruh, tapi hatiku tetap saja tak mau berpaling dengan kondisi yang terjadi padanya saat ini, “Aku benar-benar membencinya saat ini,” begitu bisiknya padaku. Aku hanya diam dan tak pernah melarangnnya, aku juga tak terlalu risau ketika dia (hatiku) mengklimaks, mencapai puncak meluakkan kebenciannya, aku hanya menawarinya dengan legukan dan helaan nafas panjang dan dalam.
Ada apa dengan hatiku?, bukankah ia sempat begitu memujanya, bahkan ia sempat berkata, “Dia begitu sempurna, tak ada duanya,” tapi saat ini malah sebalkinya, ia begitu membencinya, ruang rindu dan sayang tak ada lagi di dalamnnya. Ruangan itu kini kosong tak terisi dan mengkarat. Beku serupa salju. Apalagi setelah tahu, orang yang pernah disayanginya sudah pindah ke lain hati. Kadang aku tak kuasa membendung kemarahannya, aku juga tak punya cukup tenaga untuk menghadangnya. Sekali lagi, aku hanya diam tak terlalu merisaukannya. Aku hanya berdoa padanya, agar semua ini lekas berakhir, sebab aku kasihan dan iba melihat hatiku. Aku berharap, suatu saat ada sosok lain yang mampu membukakan dan mengobati luka yang menganga itu. Aku khawatir hatiku tak lagi berwarnah merah.
Apakah hatku akan luluh, dan melunak??, entahlah, aku hanya bisa memaknainya.

   

1 komentar: