31 Desember 2010

Refleksi dipenghujung Tahun

Tiada ucapan selamat tahun baru yang lengkap tanpa meninjau apa yang kita sebut sebagai resolusi awal tahun. Rasanya sudah tidak asing lagi kebiasaan awal tahun di mana kita diajak membulatkan niat, menanam suatu cita-cita, dan menancapkan tekad untuk mencapai suatu perubahan.
Seorang teman pernah bilang, bahwa baginya resolusi awal tahun adalah proses menggodok semangat juang dalam hidup, supaya dia bisa mengukur kemajuan dan prestasinya dari tahun ke tahun. Teman yang lain berkata, resolusi awal tahun itu hanya sumber stres, karena menurutnya dari sekian banyak keinginan yang tercantum, lebih banyak yang tidak tercapai daripada yang terwujud.
Jadi apa saja resolusi awal tahun Anda? Bagi saya, meluangkan waktu hening dan merenungkan bagaimana kita mengelola energi kreatif dalam hidup, lebih bermanfaat ketimbang sekadar mencantumkan setiap keinginan dalam “daftar belanja” awal tahun.
Mari kita lihat rutinitas yang biasa terjadi di perbatasan antara akhir tahun dan awal tahun. Pertama, tidak ada resolusi awal tahun yang afdol tanpa refleksi akhir tahun.Pada penghujung tahun, kita menengok resolusi yang telah dibuat pada tahun sebelumnya. Kita tepuk bahu kita sendiri atas niatan yang telah tercapai, dan kita pindahkan semua niatan yang belum tercapai sebagai kandidat penghuni daftar resolusi tahun selanjutnya.
Saya sendiri, terus terang, jarang tergerak untuk menyusun resolusi awal tahun, saya lebih senang menjalani hidup ini langkah demi langkah. Mengapa begitu? Saya berusaha melihat kembali setiap momen ketika saya membuat rencana, dan sering sekali rencana tersebut tidak terjadi sesuai dengan apa yang kita prediksikan sebelumnya.
Hidup ini memang sarat dengan perubahan dan ketidakpastian. Terkadang target dipasang supaya keinginan kita punya “bahan bakar” untuk tumbuh, bergerak dan berkembang, namun di tengah bersemangatnya kita mengejar keinginan, tanpa sadar dalam hati terselip rasa “keharusan” yang memaksa. Ini acapkali menjadi sumber stres yang tidak perlu.
Tidak bisa disangkal, kita memang butuh semangat hidup. Tanpa itu, hidup bisa terasa hambar. Namun semangat hidup yang terjangkit “harusitis” – radang serba harus ini dan itu – berpotensi menjepit hati, dan akhirnya merampas kemampuan kita untuk menikmati hidup momen demi momen, serta membuat kita lebih mudah untuk lupa bersyukur atas hal-hal yang sederhana namun indah dalam hidup kita.
Ada yang mengatakan bahwa potensi kreativitas manusia itu tak terbatas. Sebagian menjelaskan dengan mengatakan bahwa baru 2% dari otak kita yang sudah terpakai secara optimal. Sebagian lagi menyatakan bahwa karena kita adalah bagian dari ciptaan Ilahi, sumber mahakreatif yang mampu menciptakan dan mewujudkan segalanya. Manapun yang benar, agaknya alam berusaha berpesan bahwa kita punya potensi ‘mencipta’ yang luar biasa, termasuk untuk mewujudkan segala hal yang kita inginkan dalam hidup.
Lalu bagaimana caranya agar potensi mencipta ini bisa terwujud menjadi kenyataan? Salah satunya adalah dengan menarik garis batasan yang akan memberikan fokus dan kesempatan agar potensi menjadi nyata.
Contoh, setiap penulis punya segudang ide kreatif untuk menghasilkan karyanya. Namun seringkali tanpa kehadiran garis batasan yang namanya ‘deadline’, kemahakreatifan tersebut sulit sekali dilahirkan dalam bentuk kata-kata. Inilah kekuatan agung dari garis batasan.
Di sinilah saya melihat manfaatnya resolusi awal tahun. Garis batasan di awal dan akhir tahun, memberikan kita semua ‘rahim ruang dan waktu’ untuk mencipta, berkarya dan mewujudkan potensi diri seutuhnya.
Dan akhirnya, ikhlaskan segala kemungkinan terbaik dan terburuk, agar Anda tidak nafsu menang dan takut kalah. Menang dan kalah, berhasil dan gagal, merupakan persepsi yang sangat relatif. Apalagi kalau kita ingat bahwa setiap jiwa kita bertumbuh dan semakin kuat, biasanya justru dari pengalaman-pengalaman yang kita tuding sebagai kekalahan dan kegagalan.
Pada awal tahun ini, saya mengajak Anda untuk ‘bermain’ dalam hidup. Have fun in your life, instead of letting your life make fun of you. Dalam setiap tahun yang baru, kita semua dihadiahi 31.536.000 detik baru. Mari kita cintai sepenuh hati setiap detik tersebut, setiap momen, apa adanya.

Evaluasi karir telah anda lakukan. Then what next?
Apakah anda sudah merencanakan serangkaian target yang ingin anda capai untuk mengisi kalender tahun 2011? Sudah ada bayangan?
Atau jangan-jangan anda tidak memiliki bayangan sama sekali tentang apa yang akan anda lakukan di tahun mendatang.
Saya hanya bertekad untuk tidak pernah berhenti melangkah menuju sesuatu yang lebih baik, Saya yakin bahwa sukses bukan hanya milik orang yang brillian, berbakat, penuh keberuntungan, tapi sukses luar biasa adalah milik orang yang pantang menyerah, yang terus berusaha mencari cara lebih baik.
Kata bijak berikut ini tidak ada salahnya untuk dikoleksi :
“ I refuse to give up, I shall continue firmly, steadly, and persistenly until my good appears!”.
Jika tak dapat "bersahabat" dengan stres di akhir tahun, bisa jadi membuat kita tak siap mengakhiri 2010 dan memasuki 2011 dengan suasana keteduhan. Tak salah jika jelang tahun baru Mario Teguh menjadikan beautiful stress-kombinasi dua kata yang kontradiktif-sebagai topik akhir tahunnya.
Ia mungkin melihat banyak orang yang mengalami stres dan tak mampu mengelolanya. We all require the degree of stress, jika kita ingin berhasil, yang menunjukkan bahwa stres tak selamanya negatif dan agar kita bereaksi dengan baik terhadapnya, bukan dikuasainya. Hugh Down menyatakan bahwa "orang bahagia lebih terkait dengan serangkaian sikap dibandingkan serangkaian keadaan."
Meski jelang tahun baru banyak orang dipicu stres, namun seperti tahun-tahun sebelumnya, hidup kita akan selalu berhubungan dengan stres, yang penting adalah bagaimana menyikapinya agar hidup jadi lebih bermakna. 
So, enjoy your stress and welcome 2011!

26 Desember 2010

TUHAN juga Cemburu

Oleh: Ach. Dhofir Zuhry1)

“… Allah sekali-kali tidak menjadikan dua buah hati dalam rongga dada seseorang…” (QS:Al-Ahzab, 33: 04)
Adakah di antara kita yang tidak pernah cemburu?, bisakah kita menghindar darinya?, apakah cemburu memang memiliki keselarasan diametral dengan segala bentuk aksentuasi hidup kita? Dan yang lebih penting, sanggupkah kita menjadikan kecemburuan itu sebagai sebuah kekuatan “lain” bagi kita?
Dunia, alam raya tempat segala kepalsuan hidup yang paling genit ini memang akan terus memuai (expanding universe) yang tentu saja akan diikuti oleh perkembangan dan perluasan nilai (expanding values) dalam segala aspek kehidupan, begitu juga dengan cemburu dan kecemburuan. Diapresiasi dari disiplin ilmu manapun, cemburu memang sama tuanya dengan usia sejarah umat manusia, terhitung sejak penduduk bumi baru berjumlah enam orang (Adam As, Hawa, Qabil, Habil dan kedua orang saudara perempuannya), cemburu memang telah ada dan berbuntut peristiwa pembunuhan untuk pertama kalinya, bahkan, konon Adam As “terusir” dari surga lantaran kecemburuan Iblis.
Cemburu tidak hanya berlaku bagi manusia, perikemanusiaan, kebinatangan dan peri-peri yang lain mungkin tidak akan pernah terselenggara dengan sempurna secara dinamis dan dialektis tanpa adanya cemburu. Cemburu atau juga kecemburuan—selain banyak digunakan dalam literatur cinta, juga dalam sistem sosial kemasyarakatan, pendidikan, ekonomi, politik dan konstelasi kebudayaan kita—adalah sebuah situasi di mana kemesraan, harmoni dan nilai tertinggi dari kesetiaan dicederai, dilukai atau paling tidak dibatasi dan dikagetkan oleh sebuah hentakan sikap yang tentu saja menjadi beban di pundak psikologis siapa pun. Perlahan, secara diam-diam (diakui atau tidak) kecemburuan menuntut yang bersangkutan untuk melakukan “sesuatu” atau setidaknya katarsis2). Maka (logika pendeknya), yang menjadi penyebab terjadinya pelampiasan emosi itu adalah mengendapnya rasa cemburu dalam batin manusia.
Memang pada prinsipnya, cemburu, sesederhana apa pun motif dan geraknya tentulah menjadi tetes-tetes racun dalam diri seseorang (atau juga lembaga) yang lambat-laun akan mengikis kesadaran dan balancing power dalam diri. Namun demikian, cemburu tidak harus melulu terlahir dari rasa cinta, tapi juga dapat terlahir dari perasaan benci atau juga pola hidup yang selalu dibingkai oleh kebenciaan terhadap sesama. Bagi seseorang yang di tanah prsikologisnya hanya ditanami benih-benih kebencian, pasti akan memandang hidup dengan cara yang pesimis, naif dan kontra-produktif dengan selalu mencari-cari kesalahan orang lain. Padahal sejatinya mencari-cari “kesalahan” orang lain, berarti menutupi “kesalehan” dirinya sendiri, dan itu juga berarti menutup akses-akses kesalehan sosialnya. Itulah kenapa dalam konstelasi kebudayaan, iri terhadap perbuatan baik atau punya budaya malu bukanlah cemburu, tapi kecenderungan untuk maju. Pernah suatu ketika dalam sebuah perbincangan ketika seorang kawan menceritakan mobil mewah terbarunya yang made in Jepang, saya justru terperangah, kenapa hanya produk-produk otomotif Jepang yang kita impor?, kenapa bukan budaya malu dan etos kerja “Samurai” mereka yang kita datangkan ke negeri ini?
Cemburu merupakan sebuah unsur destruktif yang memasuki—dan meracuni secara sepihak dan personal—perangkat psikologis dalam diri manusia, itu artinya kecemburuan tidaklah statis dan beku, sehingga tentu saja memiliki nilai, relativitas dan probabilitas. Kenapa demikian? Sebab ketika tirai kecemburuan itu dibuka, maka yang tampak dan tebentang adalah jazirah cinta yang mahaluas. Sehingga dalam tutur bahasa sehari-hari sering kita dengarkan bahwa cemburu berarti cinta, sekalipun dalam tatanan kehidupan masyarakat luas—cemburu sosial, misalnya lebih diartikan sebagai sikap iri terhadap orang, kelompok atau sebuah pranata dan tatanan. Dengan lain kata (contoh kasus), ketika A tidak mendapati dirinya seperti B dalam prestasi, prestise, reputasi dan strata sosial, maka ia akan cemburu, ketika X tidak mendapatkan popularitas, pengakuan publik—yang dengan meminjam istilah Maslow, self esteem—seperti yang dirasakan Y, kontan ia juga cemburu. Sederhananya begini, kecemburuan pada mulanya adalah tidak menentunya suasana hati dalam mengambil (determinasi) sikap atas realitas-realitas yang membentang di hadapan kita, hal ini boleh jadi disebabkan oleh dibatasinya “fungsi” dan “penjangkaran nilai” dari diri kita terhadap yang lain, sehingga yang ada hanya suasana inhibisi (inhibition), yakni ketika pengaruh, fungsi dan peran sosial kita (dalam prosesnya) dihalangi dan atau dibatasi oleh fungsi yang lain, maka spontanitas akal sehat pun sirna sebab kendalinya telah digantikan oleh emosi. Begitulah kecemburuan terjadi, mengembang dan berkuasa atas diri manusia.
Nah, bagaimana dengan Tuhan? Apakah rasa cemburu dalam diri kita ini memang sudah dipasang sebagai software oleh Tuhan?, atau mungkin cemburu sekedar produk kebudayaan?
Manusia, karena memang merupakan transparansi dari Tuhan yang paling riil, puncak tertinggi dari seluruh ciptaan Tuhan, tentu saja mewarisi sifat-sifat yang seharusnya hanya pantas disandang oleh Tuhan sendiri, misalnya; ingin dipuji, dihargai dan diakui. Sehingga, ketika pujian, penghargaan dan pengakuan itu telah ia dapatkan, maka sifat Tuhan yang lain (kesombongan), diambil dan diakuisisinya pula. Sebenarnya perasaan ingin dipuji dan dihargai sangat wajar dan normal, dengan catatan perasaan itu tidak terlalu dilebih-lebihkan dan ditonjolkan atau bahkan divisualisir ke dalam setiap prilaku dan sikap sosial dalam ruang publik. Semua harus diletakkan pada proporsinya yang paling seimbang, begitulah Kitab Suci mengajarkan. Namun, di samping fithri manusia juga dha’if, sehingga dambaan atau desakan untuk dihargai dan dipuji itu begitu kuat mengakar dalam batin kita, sekalipun hal itu tidak kita sadari. Itulah kenapa William James (1842-1910)3) menyatakan bahwa; “prinsip terdalam dalam sifat primordial manusia adalah keinginan atau idaman untuk dihargai”. Celakanya, perasaan ingin dihargai itu memiliki hukumnya sendiri yang bernama “cemburu”, sehingga penghargaan4) tidak pernah kita berikan kepada yang lain, apabila kita hanya menuntut untuk dihargai dan “dimenaragadingkan” tanpa pernah berkenan memberikan penghargaan yang layak kepada yang lain, di sanalah benturan yang melonjak menjadi konflik dan bencana akan segera dimulai, implikasinya keseimbangan dan harmoni tidak akan pernah tercipta dalam sistem kemasyarakatan dan kebudayaan kita. Demikanlah, jika “sesuatu” yang inner dalam kepala dan dada kita tidak menemukan titik simpul integrasinya (lantaran) cenderung menuruti “kecemburuan kerdil” itu, ketidaktertataan dan beragam benturan adalah satu-satunya keniscayaan yang tersisa dan akan terus mengancam, menikam dan membunuh substansi (jauhar) kita sesama manusia bersama dengan alam sebagai sebuah entitas tunggal. Bagaimana mengatasinya?
Pertama-tama, kecemburuan harus kita posisikan sebagai sesuatu yang “mungkin”, mungkin untuk diatasi, dinetralkan dan lantas diposisikan pada batas-batas kewajarannya. Kita tahu bahwa dalam diri manusia terdapat dua unsur, dua kekuatan mahadahsyat bernama arus jahat (necrophilia) dan arus baik atau daya untuk hidup dan memberi kehidupan (biophilia). Dan kita, sebagai manusia sejati tentu harus memilih satu di antara keduanya. Lantas, bagaimana meletakkan kecemburuan itu ke dalam aquarium biophilia?, bagaimana menjadikan rasa cemburu itu sebagai sesuatu yang positif?, bagaimana menjadikan kecemburuan itu justru sebagai semangat?
Jawaban paling sederhana dan kampungan adalah berpikir tentang hasil (outcome thinking), artinya ketika kita merasa cemburu, tanyakan pada diri kita; apa yang dapat saya hasilkan dari cemburu?, apa untungnya kalau saya cemburu? Perlu digarisbawahi bahwa keuntungan adalah posisi yang paling adil antara kita dengan yang lain—keadilan pola pikir dan pola sikap, tentu saja kalau cemburu itu diimbangi dengan rasa malu.
Sejatinya sisi negatif dari kecemburuan bisa kita umpamakan sebagai virus yang tidak mungkin bisa dibunuh atau dimatikan begitu saja, sehingga cara yang paling efisien adalah dilumpuhkan, caraanya? Di sini, kata kuncinya adalah “kendali”, ya, pengendalian diri adalah “kartu As” untuk melumpuhkan kecemburuan itu, determinasi jiwa dan kearifan sikap adalah harga mati bagi kecemburuan yang sempit itu. Dengan demikian, rasa cemburu akan selalu menemukan titik positifnya, sebab jika tidak orang yang mengalami kecemburuan (negatif) akan terus terpuruk dalam suasana hati yang defisit dan merugikan. Apalagi manakala kita tarik pada sesuatu yang paling asasi dan prinsipil dalam diri manusia, agama misalnya. Agama tentu saja melarang manusia untuk cemburu (buta) terhadap yang lain wa bil-khusus dalam urusan dunia, apa sebab? Pada umumnya seorang pencemburu adalah orang yang tidak berprinsip, bersabar dan bersyukur menjalani hidup. Pendeknya, cemburu akan membunuh nalar-nalar sehat dan kecenderungan progresif dalam diri manusia, sehingga kalau term itu dibalik akan berbunyi begini; cemburu yang wajar adalah cemburu yang terus belajar untuk mengkooptasi nilai moral, mengupayakan keikhlasan idealisme dan meminimalisir keinginan-keinginan temporal. Barangkali inilah alasan kuat kenapa Tuhan hanya menciptakan satu hati dalam rongga dada manusia. Kenapa? Karena Tuhan juga punya rasa cemburu, lagi pula mendua-hati dan menyekutukan Tuhan (syirik) adalah prilaku orang-orang munafik, sehingga syirik adalah dosa besar yang “tidak terampuni”. Namun simplifikasinya, dengan cemburu itulah Tuhan secara total mencintai kita; sebagai manusia dan yang mampu menjadi manusia seutuhnya. Wallahu a’lam.
Catatan Kaki
1 Lahir di Malang-JawaTimur 04 Juli 1984. Alumnus Pesantren Babussalam Malang dan Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo. Bukunya yang sudah terbit di bidang tasawuf dan teologi Tersesat di Jalan Yang Benar (Kalam Mulia Jakarta, 2007), Terjemah Shalawat Haji (Nurudh-Dholam Institute, 2005), segera menyusul kumpulan cerpen sufi Para Nabi Dalam Botol Anggur (Januari 2008) Saat ini menjabat sebagai Direktur pada badan anti-Narkoba Center of Information and Drug Abuse Service. E-mail: ach-dhofir@plasa.com
2 Catharsis (Ing.) arti sebenarnya pembersihan atau upya membersihkan, namun istilah ini dalam tutur bahasa atau literatur psikologi berarti pelampiasan atau pelepasan emosi sehingga yang bersangkutan akan merasa lega. Bdk. Misalnya; Dr. Kees Bertens, Memperkenalkan Psikoanalisa Sigmund Freud, Gramedia Jakarta, 1982.
3 Adalah filsuf dan psikolog abad 20 yang terkenal dengan “pragmatisme”nya. Benar, kita tidak pernah menyadari perasaan ingin dihargai itu lantaran “kesadaran” tidak pernah kita anggap sebagai sebuah “fungsi” dalam diri kita. Lebih jauh James mengemukakan bahwa gejala-gejala keagamaan juga berasal dari kebutuhan-kebutuhan perorangan yang tidak disadari. Lih. DR. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah filsafat barat 2, Kanisius: 1991. hlm. 131-133.
4 Dalam Islam juga berarti shalawat untuk Nabi, penghormatan dan sikap ta’zhim.

Kata-kata Sederhana

Bahasaku ini “kataku, aku butuh”. Tapi tak akan terangkat kata-kataku,
Persembunyian terlalu rapat, hingga aku sulit bernafas.
Disini gelap, pengap, air mata mengalir liar,
Bukan di goa–goa, disini, nyata, terlihat, dan tampak utuh.
Apalagi? Tanyaku memberontak pengecut jiwa,
Memukul-mukulnya dengan makian, tapi tak teriak, dan tak terdengar.
Dindingnya terlalu tebal, untuk menyampaikan pesan.
Ini, bukti kekuatan rahasia “Sambil menunjuk sebagian sayatan-sayatan luka”
Perih, hanya aku yang merasa, hanya aku yang tahu, hanya aku yang menulis.
Ungkapan kecil, kertas buram, dan pojok kamar, adalah pendengar setia.
Lembaran kertas putih tertata, saksi mata, dan pengakuan sederhana.
Goresan perasaan, adalah bukti terkuat yang akan dikuak
tentang perjalanan, kehidupan serta perasaan nan terlalu indah untuk diceritakan.
Bukan mimpi, karena masih terasa…

Jika aku mampu berhenti mencintaimu?

Apa jadinya jika aku mampu berhenti mencintaimu?
Sebuah pertanyaan yang sedikit menghentak perasaan, tapi, pernahkah terbersit bahwa itulah pernyataan yang mungkin atau bahkan malah pernah dikatakan oleh pasangan kita? Aku pernah yakin bahwa aku tak mampu berhenti mencintai pasangan, masa-masa yang begitu indah untuk kulupakan begitu saja, nyatanya? Dia dan aku sudah tak saling bersama lagi, dan mungkin aku atau dia benar-benar sudah mampu berhenti mencintai satu-sama lain. Dia dan lelakinya, aku dan perempuanku. Ini bukan masalah kehidupan pribadiku, tapi, hampir semua orang yang sedang sama-sama jatuh cinta akan begitu mudah untuk berkata “Aku tak akan mampu hidup tanpamu.”, “Aku tak akan berhenti mencintaimu” atau kata-kata lainnya.
Memang, ada beberapa hal atau contoh yang bisa kita ambil bahwa mencintai itu abadi, tapi, apakah dicintai juga abadi? Sangat sulit untuk menerima secara tulus bahwa orang yang dulu kita cintai kini benar-benar sudah tak mampu lagi kita miliki, atau bahkan kita yang benar-benar tak mampu lagi untuk mencintai seseorang secara tulus. Terlalu berputar? Sederhananya, aku hanya bilang bahwa sehebat apapun kita saling mencintai pasangan, cobalah bertanya pada diri sendiri, apa kita pernah berpikir bahwa orang yang kita cintai akan bekata demikian? lalu, apa kita pernah terpikir untuk siap menerimanya?
Mungkin tulisan ini terkesan iseng, memang, tapi aku sungguh sangat ingin menekankan, cintailah pasanganmu semampu kau mencintainya. Kelak, kita pasti akan kehilangan orang yang sangat kita cintai dan tentu saja kehilangan yang tak pernah kita inginkan adalah saat pasangan kita berkata bahwa ia tak lagi mencintai kita. Jadi, apa yang akan kau katakan bila orang yang sangat kau cintai berkata “Jika aku mampu berhenti mencintaimu?”.
Seorang sahabat kemudian menjawab pertanyaanku, ia berkata “Maka aku tak akan berhenti mencintaimu.”. Ah, sebuah jawaban yang sangat membuatku tertunduk penuh takjub. Jawaban yang membuatku kembali bertanya pada diriku sendiri, apa aku pernah mencintai orang sebegitu hebatnya hingga aku tak pernah mampu berhenti mencintainya? Mungkin banyak orang bilang pacar pertama adalah cinta yang tak pernah berakhir, nyatanya ada pacar kedua atau pacar setelahnya, lalu, cinta yang manakah yang sesungguhnya tak berakhir?
Sekali lagi, cintailah pasanganmu penuh ketulusan, karena cinta mungkin akan berakhir tapi ketulusan akan selalu membuat cinta itu abadi.
Salam hangat,
Surabaya, 27/12/2010 

“Hanya “Dia” yang boleh menindasku, itu pun kalau Ia mau….!!!!”

Pada titik jarum jam ini aku berhenti berbuat apa pun..!!!
Termasuk didalamnya hasrtaku menuju harapan yang terlanjur “Terbingkai…!!!”
Saat  pertarungan antara hati dan fikiran merajai diriku, aku menemukan titik jarum jam mendadak berhenti. Dan itulah waktu yang tepat buatku untuk menetukan kemana kakiku harus terlangkah selanjutnya.
Senin, 27/12/2010 aku menentukan sikap, setelah pertarungan melelahkan menguras emosi memeras air mata yang tak kunjung usai. Maka dengan ini aku katakan…..
“Jarum jam yang sengaja kau berikan telah larut bersamaku menghitung sejumlah kesedihan, bisa jadi sebenarnya ia tak mau berputar, tapi apa boleh buat kadung ditakdirkan jadi jam yang harus berputar mengitari  angka 1 sampai 12…..!!!.”
Tak ada lagi yang bisa kuutarakan, semuanya berhenti pada titik nol. Angka yang tidak pernah diketahui bagian-bagian dari sudutnya…..!!!
Tak ada lagi….!!!!
“Biarkan aroma kebencian menebar dan menapaki jantungku, Biarkan dendam menemaniku sampai akhir nafasku, biarkan, biarkan dan biarkan…!!!”
Usai sudah, seperti punting “Rokok” yang kubuang beberapa detik yang lalu….!!!!!
“Selamat tinggal pada cinta, benci dan rindu…!!!!”

23 Desember 2010

Lembar Kosong Untukmu

Menilik satu demi satu susunan kata
Pada tiap lembar berhias tinta pena
Begitu banyak apresiasi tentangmu
Tentang hangat cinta dan belai kasihmu
Tapi tidak pada lembarku..
Begitu banyak kata-kata indah terlantun untukmu
Terkemas rindu dalam lembaran sajak anakmu
Menitik air mata pun seulas senyum pembaca
Menggugah karya sebagai penyemangat jiwa
Tapi tidak pada lembarku..
Meski aku, anakmu ini berlaku hina
Hingga banyak orang mencerca dengan murka
Kubenarkan mereka menghakimiku tercela dan durhaka
Tapi takkan kubiarkan lembar kosongku terisi paradigma mereka
Begitu banyak cerita mengisahkan kasihmu
Tapi lembarku masih kosong
Banyak memori indah terekam dibenakku
Tapi masih, lembar itu kubiarkan kosong
Mereka menungguku berujar tentangmu
Tapi kubiarkan hening mengambil alih ragaku
Memintal senjaku di atas lembar yang haus akan dirimu
Terpaku bukan tanpa nada, di sini ragaku
Kemarilah, kawan...
Kan ku tunjukkan lembar milikku, perhatikan
Tidakkah kau lihat aksara tak kasat mata ini
Di sana meluap cerita tentangnya
Terbaca bukan oleh mata, melainkan hati
Begitu banyak cerita hingga tak tahu harus memulai dari mana
Jikalaupun lembaran ini terbentang seluas jagad raya
Serta samudera sebagai tintanya
Itu takkan cukup melukis kebesaran dan kelembutan cintanya
Bukan tak ingin berbagi sedikit kisah tentangnya
Tapi itu hanya akan menjadi sekat dalam mengartikan kasihnya
Itulah yang kukatakan pada kawanku, Ibu..
Meski tak kau sadari lewat inderamu
Aku bisu,
Bukan berarti ku matikan ingatan tentangmu
Tetapi ku yakini kau hidup dalam aliran darahku
Ku patri senandung akan dirimu
Dalam hatiku
Bukan pada lembar yang dapat usang
Rusak, sobek, terbakar ataupun hilang
Itulah lembaran kosong milikku, tentangmu
Ibu..
Tetapi tidak kosong keberadaannya

20 Desember 2010

Terbanglah Garudaku….!!!

Mari sejenak lupakan silang kata kasus korupsi di Indonesia, hilangkan rasa sedih melihat beragam bencana yang menimpa bumi pertiwi. Sebantar saja, kita fokus melihat perjuangan dan nasionalisme Timnas Sepak Bola Indonesia. Tiket ke final sudah di genggaman, harapan untuk menjadi juaran kian tampak di depan mata, apalagi yang akan dihadapi di final nanti adalah tim yang dipecundangi Indonesia pada babak penyisihan Piala AFF 2010, siapa lagi kalau bukan Malaysia.
Tanpa tersentuh kekalahan…!!!!, prestasi luar biasa yang diperoleh Timanas sepak Bola Indonesia. Meski pun masih belum juara, paling tidak punggawa Garuda mampu membuktikan bahwa mereka juga patut diperhitungkan dikancah sepak bola Asia Tenggara. Dibabak penyisihan saja, pasukan Merah Putih mampu melibas Malaysia 5 gol, setelah itu melumat Laos enam gol tanpa balas, dan sejarah juga mencatat kemenangan pertama Indonesia atas Thailand, lewat kedua tendangan penalti Bambang Pamungkas. Selayaknya kita angkat topi kepada seluruh punggawa timnas Sepak Bola Indonesia. Berkat perjuangan mereka, tinggal selangkah lagi untuk pertama kalinya sejak 1996 digulir harapan membawa Trophy Piala AFF ke Indonesia, begitu jelas ada di depan mata.
Sempat khawatir ketika salah seorang pengacara public, David Tobing menggugat logo garuda yang tersemat di dada kiri kaos timnas. Tak tangung-tanggung, gugatannya ditujukan kepada presiden, PSSI, Menpora, Mendiknas. Dalam gugatannya, David Tobing berdalih penyematan lambang Garuda di kaos timnas telah melanggar UU No 24/2009 ten­tang Bendera, Bahasa, Lam­bang Negara dan lagu Ke­bang­sa­an.
Gugatan David langusung mendapat reaksi keras berbagai kalangan. Salah satunya rekasi dating dari Yakin Simatupang, ketua Suporter Nasional Se­pakbola Indonesia (SNSI), Dia menilai gugatan tersebut dianggap mengganggu konsentrasi pemain timnas yang akan berlaga di semi final melawan Philipina.
Masalah yang dihadapi Timnas Indonesia, mengingatkan kita pada polemik yang juga dialami Tim Azzuri (Julukan Timnas Sepak Bola Italia), lima tahun silam. Kala itu, Italia harus konsentrasi untuk menghadapi babak penyisihan Piala Dunia 2006 yang digelar di Jerman. Sementara di dalam negeri, kasus Calciopoli (Pembelian wasit atau pengaturan skor untuk memenangkan salah satu club), mencoreng nama besar Si Nyonya Tua (Julukan Juventus), terlebih kasus memalukan tersebut menjadi tamparan keras bagi Federasi Sepakbola Italia (FIGC). Juventus harus menerima ganjaran atas perbuatan nakalnya, Klub yang bermarkan di Turin itu harus rela turun kasta. Yah, Juve didegradasi ke seri B.
Pada saat itu juga, beberapa pengamat mengatakan Tim Azzuri tidak akan bisa berbuat banyak dipentas sepak bola terakbar di jagad ini (Piala Dunia). Mengingat masalah pelik yang tengah melanda dunia sepak bola negeri Pizza tersebut. Tapi apa yang terjadi, fakta berbicara lain. Tim Azzuri melenggang mulus menuju puncak, setelah menjungkalkan tim tuan rumah (Jerman) dua gol tanpa balas, di partai puncak Italia menghentikan langkah Tim Ayam Jantan (Prancis) lewat adu pinalti. Dan Italia pun melenggang sebagai juara dunia untuk yang ketiga kalinya.
Nah, mengaca dari pengalaman Tim Azzuri, semoga cobaan yang dialami Timnas Indonesia membawa berkah, Indonesia menjadi juara Piala AFF 2010 untuk yang pertama kalinya. Semoga, gugatan yang dilayangkan David Tobing menjadi pecutan dan semangat bagi Merah Putih untuk menjadi yang nomor satu di Asia Tenggara alias juara. Semoga!Terbanglah Garudaku…..!!!!

19 Desember 2010

LAPTOP......!!!!

Aku merasa miris mendegar barang elektronik yang tengah booming ini, bukan karena tak bisa mengoprasikan. Lebih daripada itu setiap hari kerap aku melihatnya, dan tak jarang pula menggunakannya, meski sekedar nebeng pada teman yang lagi beruntung mempunyai LAPTOP.
Lalu, apa penyebab dari kemirisan, kegundahan terkadang juga rasa mangkel hatiku ini?, inilah kronologis dari tragedi paling mengenaskan dalam sejarah hidupku….!!!!
Sekitar tahun lalu – aku tak begitu sempat mengingat jam, hari dan bulan kejadiaanya, memang sengaja tak ingin mengingat kejadian pagi itu – waktu itu aku tengah menjalani tugas magang profesiku di salah satu surat kabar harian milik Jawa Pos Grup (Radar Surabaya), sebulan lamanya aku harus keliaran menyusuri pekat kota Surabaya sebagai pencari berita alias wartawan. Nah, untuk memperlancar kinerja sebagai kuli tinta (wartawan, red), aku sengaja meminjam Laptop adik kelas yang kebetulan satu pondok di Probolinggo dulu, satu jurusan di fakultasku. Ifa begitu ia dipanggil, aku sendiri sampai sekarang tak tahu siapa nama lengkapnya, yang jelas barang mahal itu saban hari bersamaku, menemaniku mencari berita, Alhamdulillah…..
“Laptonya dek Ifa udah aku beli, tapi bayarnya nyicil,” kata ........ - titik-titik ini sebagai ganti dari nama anak adam tersebut, cukup aku dan hati saja yang tahu, sengaja tak kutuliskan namanya, ada delapan titik, diawali huruf Kapital Z dan disudahi huruf H itu saja.
Aku hanya diam saja waktu itu, pikiranku menjalar coba mencari tahu atas dasar apa Laptop Compaq CQ 40 warna hitam harus dibelinya, nyicil pula. Apa dia (titik Sembilan, red), sudah tergiur dengan barang mahal itu, atau hanya sekedar ikut trend saja, bisa juga untuk membantu tugas kuliahnya?, ah, entahlah yang jelas aku ikut senang.
07.00 WIB hari Jumat pagi, bersamanya menjalankan tugas dari kantor (Radar Surabaya, red) mencari berita, kebetulan hari itu tugasnya ngeliput acara pagelaran musik solo di Gramedia Ekspo Surabaya. Sekitar Pukul 10:00 WIB kita keluar dari gedung megah itu, kemudian Motor Supra X 125 meluncur membawa kami ke Taman Bungkul, di tempat yang sebenarnya makam keramat itu untuk pertama kalinya aku melihat senyum indah mengembang dari bibir Titik Sembilan. Ah, kau begitu elok, tak sanggup rasanya mata ini memandang rona bahagia yang terpancar dari wajah ovalnya. Seketika kulempar tatapanku, kualihkan perhatianku dengan menyeruput es dengan yang mulai mendingin.
17:00 WIB, bersamanya meluncur ke lantai IV Graha Pena, kantor redaksi Radar Surabaya, wajah-wajah serius di depan layar Komputer sudah menjadi pemandangan yang taka asing lagi buatku, maklumlah wartawan pada jam segitu sudah harus menuntaskan dan nyetor beritanya, jika melenceng dari deadline siap-siap kenak damprat oleh sang redaktur. Tanpa mengganggu keseriusan mereka kita langsung menuju meja usang milik redaktur kami.
“Gimana, lancar liputannya,” sapa redaktur kami mengawali perbincangan.
“Lancar,” jawabku.
“Alhamdulilah,” sahut Titik Sembilan, menyambung ucapanku.
Setelah diedit sedemikian rupa, akhirnya tugas kami hari itu kelar juga, dan kami pun siap-siap kembal ke rumah masing-masing.
“Oh iya, tugas lipuatan besok sudah aku persipakan buat kalian, (Aku dan Titik Sembilan, red)” kata Redaktur, dengan mengarahkan telunjuknya kearah kami.
“Liputan apa pak,” tanyaku.
“Nah, di daerah karang manjangan ada komunitas bernama LGBTiQ, ini nomor yang bisa kalian hubungi,” terang laki-laki alumnus Unej ini pada kami, sambil memberikan nomor telephone nara sumber yang bisa kami hunbungi.
“Oke pak,” jawabku yakin.
“Suskes ya,” ucap redaktur penyuka batik ini, sekaligus mengakhiri perbincangan.
Kami pun berlalu. Menapaki Surabaya beranjak malam, lalu lalang beragam kendaraan di Jl. A.Yani, terdengar bising namum terlihat indah, lampu di pinggiran jalan berjejer rapi, warna-warni bak pelangi membuntuti langkahku.
Aku harus segera sampai ketempatku, lelah mulai terasa setelah seharian berburu berita. Mata pun tak bisa lagi diajak kompromi, walau jalanku tak seperti orang mabuk rasa ngantuk mulai mengganggu konsentrasi jalanku.
“Setelah ini aku langsung tidur,”  gumamku lirih.
“Assalamualaikum,” sapaku sambil membuka dau pintu kamar.
“Waalaikumsalam,” jawab teman-teman seraya berkoor.
Ternyata malam itu sedikit berbeda dengan malam-malam biasanya, terlihat ramai oleh kehadiran sahabat/i ku, kira-kira sekitar tujuh orang yang memadati tempatku. Tapi, malam itu aku tak begitu menghiraukan mereka, sebab rasa kantukku sudah mencapai stadium empat, aroma bantal sudah teredus oleh penciumanku.
Tanpa ganti baju – memang jarang sih gonta-ganti baju – aku langsung mencari mahluk bernama bantal, secepat kilat mataku mengawasi setiap sudut ruangan kamarku, mecari dimana gerangan bantal bersembunyi. Dan akhirnya makhluk yang kucari segera kutemukan, meski pun terliahat kumal dan lusuh, penuh gambar peta hasil kreatifitas air liur sahabt-sahabatku aku tak peduli, yang penting aku bisa memejamkan mata. Malam itu, bantal yang menyerupai Globe itu benar-benar membantuku tuk sampai pada alam mimpi.
Siapa sangka, hasratku untuk segera terbang ke alam mimpi terusik oleh Laptop yang sudah berganti pemilik, dari si Ifa ke Titik Sembilan. Aku baru sadar ternyata dialog dalam diriku belum tuntas juga tentang Compaq CQ40.
“Apa yang membuat Titik Sembilan harus mengambil alih kepemilikan barang ini?, apa istimewanya barang 17 inchi ini?, toh meski pun tanpa dibeli benda ajaib tesebut akan tetap bisa ia gunakan sehari-hari, kapanpun dan dimana pun. Atau dia memang sengaja membelinya agar tak merasa sungkan kala memakainya, mungkin ia, ” dialog yang sebenarnya tak perlu terjadi padaku. Butuh seperempat jam untuk sekedar mengamati Laptop barunya Titik Sembilan.
Dan, aku mendapati debu menempel di beberapa bagian body Compaq CQ40, mulai dari Kyboard, layar dan Speaker. Juga goresan kecil di beberapa bagian Body nya. Maklum, meski pun baru beli, Compaq CQ40 nya sudah terpakai sekitar enam bulanan oleh pemilik pertama alias beli bekas, tapi bukan BABEBO (Bekas Baju Bos) lho...!!!!
Aku merasa tak enak dengan pemandangan itu, meski bukan milik pribadi, aku tetap harus merawatnya. Tanpa panjang lebar, aku langsung mengambil tissu basah yang tersimpan rapi di tas. Sengaja kusediakan tissu basah untuk sekedar membersihkan debu yang menempel di Compaq CQ40, dan itu aku lakukan sejak pertama kali memakainya. Selain hemat, juga tak terlalu banyak merogoh kocek, gampang pula untuk mendapatkannya.
Beberapa sapuan tissu basah ke body Compaq CQ40 sudah menampakkan hasilnya, body dan bagian yang lain sudah terlihat mengkilat seperti baru lagi. Aku terus meyapunya ke beberapa bagian, sampai tak terlihat lagi debu-debu nakal yang mengotori Compaq CQ40.
“Hem, sudah bersih kau kawan!,” ucapku pada benda mati itu (Compaq CQ40, red), waktunya kau istirahat.
Sebelum kumasukkan ke ransel khusus penyimpanan Compaq CQ40, aku memencet tombol power, beberapa detik kemudian di layar Compaq CQ40 tertulis “LOADING” kemudian muncul lagi tulisan “Welcome to Windows Vista Starter” seperti menyapaku saja, mencoba mengakrabiku.
Setelah itu, pada benda kecil seukuran tikus dewasa – dalam istilah bahasa komputer disebut MOUSE – ku klik kanan, kemudian muncul beberapa tulisan dan kupilih eksplorer, muncullah beberapa folder dan kuklik folder “Effendie Nitip”, setelah kuamati sejenak ternyata ada file video Detik-detik lengsernya almarhum K.H Abdurrahman Wahid dari jabatannya sebagai presiden RI ke IV. Seingatku moment itu terbingkai dalam program acara Kick Endy dibawah kendali Andy F Noya, dan aku pun tertarik untuk melihatnya.
Dengan posisi terlentang aku nonton video tersebut. Sekitar lima menit berlalu, beberapa sahabatku juga ikut nimbrung nonton. Mungkin mereka juga ingin tahu peristiwa bersejarah itu. Setengah jam kemudian, acara nonton bareng itu terus berlanjut sementara mataku mulai memicing, rasa kantuk kembali menggelayuti kelopak mataku, aku pun menyerah dan memutuskan untuk tidur. Tetapi sebelum kesadaranku hilang total, aku berpesan pada sahabat-sahabat yang ada di situ, “Nanti kalau mau tidur tolong pintunya di tutup ya!,” begitulah kira-kira pesanku pada mereka malam itu. Setelah berucap, perlahan kesadaranku mulai berkurang, mataku segera menyipit pelan, nafasku berhembus teratur dan aku tertidur pulas.
Astagfirullah, aku tersentak mataku menelanjangi seisi ruangan tempatku, dengan kondisi setengah sadar aku bangkit. Aku kaget mendapati Compaq CQ40 tak ada di tempat semula, meja yang kujadikan alas untuk Compaq CQ40 juga raib. Hugfff....!!!, ternyata benda yang kucari telah pindah tempat, entah siapa yang memindahkannya yang jelas malam itu aku sempat tak punya hati. Setalah kupastikan Compaq CQ40 baik-baik saja, aku kembali ke tempat peraduan, sebelumnya aku berpesan lagi agar pintu dikunci lagi jika mau keluar, kebetulan saat itu juga ada sahabtku yang belum tidur.
06:00 WIB, aku terbangun dan untuk yang kedua kalinya jantungku kembali berdegup kencang, aku dapati Compaq CQ40 sudah tak terlihat lagi keberadaannya, tak hanya itu ketujuh sahabatku juga pada meninggalkan tempatku, dengan meninggalkan pintu sedikit terbuka dan jejak kaki seseorang tanpa alas kaki di atas karpet warna hijau. Aku kelimpungan, aku masih belum percaya benar bahwa Compaq CQ40 hilang, di bawah meja, di dalam lemari yang ada di tempatku juga kuperiksa tapi hasilnya nihil Compaq CQ40 benar-benar hilang.
Secepat kilat aku menghubungi beberapa sahabatku yang bermalam di tempatku, satu persatu aku tanyakan keberadaan terakhir Compaq CQ40. Hasilnya sama dengan jawaban yang sama pula, “Saya tidak tahu cak, waktu kami keluar Compaq CQ40 masih ada, tapi pintunya tidak kami kunci,” begitulah kira-kira jawaban mereka.
Aku terkulai lemas, wajahku tertunduk tak berdaya di pojok kamar. Aku harus bilang apa pada Titik Sembilan, akan kumulai darimana penjelasanku ini, bagaimana rekasinya ketika ia tahu barang yang baru ia beli sehari hilang?, pertanyaan itu kembali menghempaskanku. Nafasku berhembus tak teratur, aku bingung harus berbuat apa.
Bismillah, dengan sisa keberanian ku pencet no Handphone +6285732xxxxxx.......tut..tut..tut...tut.....Ma’af nomor yang anda tuju tidak bisa menjawab panggilan ini. Ah, suara perempuan yang menyebalkan. Kembali ku pencet nomor yang sama, tapi juga tak ada jawaban, untuk ketiga kalinya kutelephone lagi tapi hasilnya nihil Titik Sembilan tetap tak mengangkat Telephoneku.
Usahaku tak berhenti disitu, kucoba menghubungi adik perempuannya,
“Iya Mas ada apa?,” tanya si bungsu.
“Embakmu mana dek? di hubungi kok ndak di angkat-angkat,” tanyaku singkat.
“Oh, embak lagi nyuci di belakang mas, emang ada apa?,” selidik si bungsu.
“Bilang sama embakmu, segera ke Kampus ada perlunya penting banget,” jelasku singkat.
“Iya Mas,” Jawab si Bungsu mengakhiri pembicaraan via telephone di pagi yang menyesakkan itu.
Menunggu kadang mengasikkan dan kadang juga menjemukan, hampir setengah jam aku menuggu kedatangan Titik Sembilan. Sambil merangkai kata aku duduk di atas batu tepat di depan tempatku, sesekali memyumpahi diriku sendiri, “Tolol, bodoh, dasar sembarangan, kenapa tak kau amankan Compaq CQ40 ketika kau terbangun tadi malam,” gumamku mengutuk diri sendiri.
Kemudian, dari kejauhan terdengar sayup-sayup suara motor Supra X 125, aku kenal betul suara itu, seperti halnya dekatku dengan pengendaranya. Ternyata benar, dari arah barat ia mulai tampak, menggunakan helm putih bertuliskan Snopy, dan jaket warna putih tulang yang selalu melindunginya dari panasya matahari dan nakalnya dingin. Aku berdiri, ditopang dengan kaki yang sedikit gemetar, berkeringat dingin dan mulut yang mulai kaku.
“Ada apa, kok kayaknya penting banget,” sapanya dengan senyum khas.
“Kita ngomongnya di dalam saja ya,” kataku sambil membukakan pintu dan memeprsilahkannya masuk.
Ya Allah, beri hamba kekuatan untuk menjelaskan apa yang terjadi pagi ini. Beri hamba kemudahan dalam menghadapi masalah pelik ini. Sambil membetulkan posisi dudukku, mengatur nafas dan aku memulai obrolan yang sebenarnya tak kuinginkan dipagi itu.
“Compaq CQ40mu hilang tadi pagi,” ungkapku tertunduk.
“Jangan guyon po’o,” selorohnya sembari menatapku.
“Aku nggak guyon, beneran Compaq CQ40mu hilang,” jelasku meyakinkan Titik Sembilan.
Beberapa saat kami sama-sama terdiam, entah apa yang ada dibenaknya. Aku sendiri saat itu mencari cara bagaimana cara mengganti Compaq CQ40nya.
“Ya sudah, berarti bukan waktunya aku punya laptop sendiri,” pernyataannya memecahkan kebisuan kami.
Waktu itu aku hanya diam, tak ada sepata kata lagi yang keluar dari mulutku. Yang hadir dalam benakku hanya bagaimana cara mengganti Compaq CQ40nya yang baru ia pakai sehari dan hilang.
Pembicaraan itu kuselesaikan pagi itu juga, sebab kami harus segera bergegas mencari berita yang telah ditentukan oleh redaktur kami semalam. Di atas motor aku diam, sementara Titik Sembilan tetap saja ceria, senyumnnya, cerewetnya, guyonnya tetap saja menghiasi sepanjang perjalanan ke lokasi. Seakan tak ada beban sama sekali.
“Ah, kau ini, tetap saja ceria. Padahal kondisinya lagi genting,” kataku dalam hati.
Atas pertimbangan yang menurutku ini adalah jalan terbaik, malam setelah kejadian aku kumpulakn sahabat/i yang bermalam di tempatku. Maskudku memanggil mereka untuk mengetahui kepastian dan mencari jalan terbaik bagaimana caranya agar barangnnya Titik Sembilan kembali, paling apes meski tak sama-sama Compaq CQ40 minimal ada gantinya, Itu saja.
Singkat cerita, setelah melewati perdebatan sengit antara aku dan sahabat/i tentang siapa yang harus mengganti barangnnya Titik Sembilan, akhirnya kita sepakat tiap orang yang bermalam di tempatku dikenai tanggungan 10%, intinya kita sepakat patungan. Untuk sementara aku bisa bernafas lega, karena kita mau bertanggung jawab.
Sehari, seminggu, sebulan bahkan hingga hari ini tak satu pun dari mereka datang kepadaku untuk memenuhi kesepakatan itu, jagankan menepati bertanya soal Compaq CQ40 saja tidak sama sekali. Sepertinya kesepaktan itu hilang sia-sia, tak ada apa-apa, tak ada angin dan ombak, malam kelabu itu menjadi misteri, lenyap ditelan waktu.
Sementara, Titik Sembilan tetap saja tak mau mempersoalkannya. Disisi lain, dirinya juga harus segera melunasi sisa pembayaran Compaq CQ40. Aku, seperti banci yang tak bisa berbuat apa-apa. Pernah suatu ketika, tanpa sepengetahuanku ia menghubungi salah satu dari ketujuh sahabt/i, dan mempertanyakan sikap dan tindakan kita (Aku dan sahabat/i, red). Tapi hasilnya sama, tak ada apa-apa, nol.
Tidak hanya Aku dan Titik Sembilan yang berusaha mencari tahu tentang keberadaan Compaq CQ40, sebagian sahabatku yang lain juga ikut membantu mencari solusi. Salah satunya, mendatangi orang pintar. Aku mengiyakan semua saran sahabat-sahabatku, tapi aku tak pernah melakukannya, sebab aku punya alasan tersendiri kenapa tak melaksanakan saran dari sahabt-sahabatku itu, aku masih trauma dengan hasil tebakan orang pintar. Pertengahan tahun 2006 keluargaku pernah mengalami musibah – untuk masalah ini kiranya aku tak perlu menceritakan – intinya dari tujuh orang pintar yang aku datangi hasil tebakannya semuanya salah. Itulah alasan yang mendasariku tak percaya lagi pada dukun atau orang pintar.
Kembali lagi pada masalah Compaq CQ40, sekitar tujuh bulan dari kejadian malam kelabu itu. Aku sedang menggunakan Hp Sony Ericson T700nya Titik Sembilan untuk sms ke sahabatku. Sambil menunggu balasan sms dari sahabatku itu, aku membukan beberapa folder Hp berbalut warna merah cerah milik Titik Sembilan. Tak sengaja di folder pesan-draf aku menemukan sms yang belum sempat terkirim, jika tak salah tulisannya seperti ini “Sebenarnya aku pengen banget punya Laptop sendiri,”.
Ya Allah, aku terdiam sempurna kuku. Apakah ini pengakuan yang sebenarnya?, apa ini kepolosannya, apakah ini yang sebenarnya ia inginkan, kapan kata-kata ini ia tulis, kepada siapa sms yang tak sempat terkirim ini ditujukan. Segera kubuang jauh-jauh pikiran itu, setelah menerima balasan sms dari sahabatku, aku langsung mengembalikan Hp kesayangan Titik Sembilan.
Aku terus memeras otak, mencari solusi agar ia segera mendapati laptopnya. Harapaku terhadap ketujuh sahabat/i sudah tak ada lagi. Sehari, dua hari, tiga hari hampir seminggu aku mencari cara untuk mendapatkan uang dan untuk mengganti laptopnya Titik Sembilan. Ditengah kebingunganku itu, muncul sosok ibuku yang mungkin saja bisa membantu masalahku ini.
Kala itu aku tak berani ngomong langsung pada ibu, meski via telephone. Aku mengabari masalahku pada beliau melalui sms. Hanya ini jalan satu-satunya, hatiku mantap dan aku siap jika harus dimarahi oleh ibuku. Setelah merasa siap kubuka buku telephone yang ada di hp ku, lalu kupilih no 01016601245099x yang tak lain no hp ibuku.
Kemudian aku pilih Kirim Pesan:

Aslakum...
Ibu, Sya knak musbh.....
Minjem Laptopnya temen tapi  saya hilangkan.....
Dan hars ganti, er tak pnya uang.....
Ibu bsa bantu?????
Send


Beberapa menit kemudian hp ku berbunyi
Baiknya kupergi tinggalkan dirimu...
potongan syair band Ungu berbunyi keras di hp ku. Yah, lagu tersebut kujadikan nada sms ku, setelah kubuka ternyata ada sms masuk....!

Bunda:
Waalaikumslam.....
Kok bisa gtu, ya diganti...
Berpa hrganya....????

Langsung saja kubalas sms dari ibu...

Maaf, er Lalai tertidur dan paginya udh gak ada.
Hrgnya sktar 5jt an bu..!!!
                                                                                                            Send

Hp ku kembali berdering, ibu membalas sms ku yang kedua

Bunda:
Kok banyk, dapt dr mn uang sgitu?
Kalo dbelikan sapi itu dpt dua lho er..!!!
Ya sudh, do’akn ibu dapt rejki lancr....!!!
Nnti kalo ada tak krim.....!!!!

Sms ibu tak ku balas, hanya helaan nafas panjang keluar dari hidung dan mulutku. Tak terasa buliran bening keluar dari sudut kedua mataku, “Aku menangis lagi,” kataku lirih. Jujur, mungkin ini permintaan terbesar yang pernah aku lakukan pada ibu, selebihnya aku tak pernah menambah beban ibu dalam urusan finansial (Uang, red), tapi mau gimana lagi meski berat aku harus meminta bantuan ibu.
Setelah tiga bulan menunggu kabar dari ibu, penantiaku akhirnya terjawab juga. Ibu mengabarkan sudah mentransfer uang sebanyak tiga ratus........!!!!, dan jika diuangkan kerupiah jumlahnya sekitar Sembilan jutaan. Aku pikir, uang itu lebih dari yang kubutuhkan. Menurut perhitunganku, jika diambil lima juta masih tersisa empat juta, dan sisanya itu rencananya aku simpan saja.
Bulan Ramadhan tahun kemaren, aku berencana beli laptop yang sama seperti milik Titik sembilan yang hilang. Yah, Laptop merk Compaq CQ40 warna hitam pula. Paling lambat, setelah hari raya aku dapat merealisasikan niatku itu, tepatnya setelah liburan usai aku bisa mengembalikan laptopnya Titik sembilan.
Sesampainya di rumah, setelah perjelanan melelahkan dari Surabaya aku langsung istirahat tidur, sekitar pukul 10:Wib aku terbangun oleh suara nada dering Hp ku. Ternyata sms masuk dari Pak Deku, kakak ketiga dari ibuku.

Pak De:
Er!!, maaf uangnnya yang dari ibu Pak De Pakek dulu.
Kasihan adikmu (sepupuku, red), dari dulu minta mobil.
Jadi uangnya Pak De pakai 6 jta, buat kekurangan beli mobil,
 panen depan Pak De ganti.

“Janco’, pak de tae’,” teriakku, mengumpat, melampiaskan kemarahanku pada Pak Deku sendiri. Semua keluargaku menghampiriku yang sedari tadi ada di kamar, tak terkecuali ayahku sendiri.
“Ada apa Er, kamu kok misu gitu?,” selidik ayah datar, pertanyaan serupa juga terlontar dari keluargaku yang lain.
“Uang dari ibu siapa yang megang, terus kemarin juga yang mengambilnya ke Bank?,” sederet pertanyaan yang kuajukan pada ayah dan keluargaku yang lain.
“Yang ngambil ke Bank Pak Demu, yang megang juga dia,” jawab ayah tenang, sepertinya dia tak mau meladeni kemarahanku. Sementara keluargaku yang lain diam, duduk di sampingku dan sebagian berdiri tepat di belakang ayah.
“Sudahlah Er, jangan sampai kata-kata kotor itu keluar lagi, sekarang kan bulan puasa. Toh uangnnya kamu tetep ada, Cuma masih dipinjem pak demu, sebentar lagi juga diganti kok,” nasehat ayah padaku, mungkin juga usahanya untuk mendinginkan suasana dan meredam kemarahanku.
Kala itu aku memang gelap mata, aku benar-benar marah pada kakak ibuku itu. Aku tak peduli siapa dia, bahkan aku sempat berencana mempolisikan dia dengan tuduhan penipuan. Yang ada dalam benakku secepatnya uangku segera kembali, bagaimana pun caranya.
Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar...........
Takbir berkumandang di masjid dan mushalla yang ada di kampungku, sahut menyahut menggema menjadi satu, bersatu menjadikan manusia yang ada di Desa Bandilan, Kecamatan Prajekan, Kabupten Bondowoso kembali fitrah, terlahir menjadi manusia tapa noda dosa.
Usai shalat Idul Fitri, seluruh jamaah yang hadir di mushalla kampungku saling bersalaman, memaafkan dan melupakan kesalahan masing-masing. Tetapi, itu tidak berlaku padaku. Aku masih saja marah dan tak mau bermaafan dengan keluarga pak de yang telah menghempaskan harapanku.
“Kamu tidak silaturrahim ke rumah pak demu er?,” tanya ayah sesampainya di rumah.
“Buat apa saya kesana Yah, seharusnya mereka yang ke rumah minta maaf ke ayah dan ke er, kalau perlu sujud,” kataku nyerocos, sambil memendam kekecewaan pada pak de dan keluarganya.
“Bagaima pun pak demu itu kakak kandung ibumu sendiri, jangan sampai gara-gara urusan dunia tali kekeluargaan kita terputus. Apalagi sekarang hari yang fitri, kamu harus tetap pergi ke sana. Tidak usah lama-lama, cium tangan, minta maaf lalu pulang itu sudah cukup. Apa susahnya memaafkan saudara sendiri?,” nasehat ayah padaku.
Lagi-lagi aku tak bisa berkutik mendengar penjelasan ayah. Dari mana ia mendapatkan kata-kata itu?, padahal dirinya tak pernah sekolah dan tak pandai baca tulis. Ah, ayah, lagi-lagi mengajakku untuk berfikir dengan hati, bukan lagi dengan akal. Meski berat, akhirnya kulakukan permintaan ayah untuk tetap bersilaturrahim ke rumah pak deku. Ada yang baru di rumah gedung itu, sekarang sudah lengkap dengan garasi mobilnya.
Lalu, kubuka diary lusuhku, di tumpukan kertas yang aku beli sejak SMA itu juga tersedia bul poin kesayanganku, warnanya hitam tak terlalu tebal tintanya, tetapi sudah cukup membantuku melancarkan tarian tanganku merangkai kata-kata pelampiasan kekesalanku....

WarnaQ
Kuawali, oretan bul poinku dengan kata di atas.
Sekali lagi aku harus menodaimu dengan tinta bul pointku, menambahmu semakin lusuh dengan segala uneg-unegku    

Hubby.....
Afwan Minny, Arjuu......!!!
Sampai kapan penderitaanmu akan terus berlanjut?, aku tak ingin air matamu selalu terurai akibat ulahku sendiri, aku tak rela jika senyummu harus meninggalkanmu gara-gara sikapku ini.
Hubby....
Sampai detik ini aku masih belum bisa mengembalikan Barang yang kau beli dengan susah payah. Untuk mendapatkan barangmu itu, dirimu rela menyisikan uang saku kuliahmu. Meredam keinginanmu mengeluarkan uang banyak tuk sekedar menghibur diri. Bahkan, uang tabunganmu pun terkuras untuk memenuhi keinginanmu itu.
Hubby.....
Apa yang kulakukan bukanlah apa-apa, jika dibandingkan dengan perjuanganmu tuk melunasi sisa pembayaran barangmu itu. Kamu tidak pernah mengatakan “Tidak” kala si Ifa meminta uang padamu, padahal sebenarnya kamu bingung kemana harus mencari uang untuk membayarnya.
Hubby.....
Kapan aku bisa mengembalikan senyummu....????



WarnaQ
                                                                                              Baiti Jannati


Keinginan yang tertunda, aku menganggap semua kejadian yang menimpaku dan Titik Sembilan adalah Keinginan yang Tertunda, kapan, dimana keinginan itu akan terwujud?, tak ada jawaban yang pasti, tak ada yang bisa menjaminnya. Bisa terjadi besok, lusa, bulan ini tahun depan atau bisa juga memang tak akan pernah terwujud sama sekali. Entahlah...!!!
Kubiarkan semuanya berjalan, meski tanpa seharusnya....
Yang jelas, aku juga menginginkan semuanya terwujud......!!!!

“Kamu itu tak punya otak, tak tahu diri, tak punya perasaan. Membiarkan dia menannggung bebannya sendiri, padahal bukan dia yang melakukannya, tapi dirimu. Aku doa’akan semoga..............................................,”.

Tiba-tiba ada sms masuk di Hp ku, nomornya baru, si pengirim tak mencantumkan identitasnya, isi pesannya tak jauh beda dengan kalimat yang kucetak miring di atas...!!!!!
Yah, begitulah aku.......!!!!!!!