1 April 2011

Lumpur Merampas Senyumnya

Minggu pukul 7:55 2006, juni Baru kurasakan malam paling mencekam. Tidur dikelilingi bangunan tak ber bata yang menjulang tinggi. Lebih tinggi dari atap rumah. Orang-orang pintar menyebutnya tanggul. Katanya untuk menahan danau lumpur yang semakin tak terkendalikan. Kudengar anak kecil itu bercerita, ganasnya seperti jilatan api seekor naga. Dua hari yang lalu ibuku berpesan “jagalah adikmu, kalau ada apa-apa selamatkan dulu adikmu, dia masih kecil”. Aku tak tau kenapa ibu berpesan seperti itu. tapi matanya serius, ada riak kecil dalam suaranya. Antara ketakutan dan kekuatan. Sudah hampir satu bulan hidup terasa dikepung oleh bahaya. Sebelah utara, tanggul sudah mencapai atap rumah bahkan lebih. Sebelah timur, tanggul pun berdiri gagah. Sebelah barat, air lumpur panas sudah menggenang setinggi lutut orang dewasa. Namun pesantrenku, yang terletak ditengah tengah desa jatirejo, masih kering. Tanggul-tanggul itu menjepit nafasku. Semakin aku bertahan semakin dia keras mencekik leher kehidupanku. Kadang ditengah kegundahan yang datang tiap waktu, masih sempat ku teriakkan umpatanku. “ Dasar! Manusia-mnusia serakah tak berperi kemnusiaan, sudah kaya masih saja menggerus kekayaan orang-orang kecil”. Malam itu aku enggan sedikitpun memejamkan mata. Entah malas atau ketakutan. Kardus-kardus yang sudah kupersiapkan sejak 2 hari yang lalu kini ku buka. Kumasukkan semua baju dan buku adikku, buku-buku gambar kesayangannya. Sejenak kulihat dari ekor mataku, tidurnya lelap sekali. Sampai roknya mnyingkap ke atas paha. Wajahnya lelah. anak usia 10 tahun ini, harus menjalani jadwal kegiatan yang begitu padat dipesantren. “tuhan jangan biarkan lumpur merampas senyumnya…” Jam didinding menunjukkan pukul 11 malam. Perutku sudah mulai keroncongan. karena Sore tadi kuputuskan untuk tidak makan. Kuambil sisa-sisa nasi dan lauk tempe diatas lemari loker. Didepan kamar kudengar dua temanku masih asyik mengobrol. Suara mereka sedikit menenangkan pikiranku yang sedang galau. Belum lagi selesai mengisi perut lapar, terdengar langkah kaki berat, mengehentak-hentak ditiap anak tangga. Tiba-tiba “DOk!!dok!!!” suara gedoran pintu membuatku membanting piring plastic yang sedang kupegang. “ayo..ayo.. bangun, cepat mengungsi….. tanggul jebol. Tanggul jebol… kedaaan bahaya.. ayo bangun,, “ suara besar dari dua orang yang membuka pintu kamarku. Mereka tentara terlihat dari seragam lorengnya. Bahu kecil yang sedang terlelap itu kemudian ku guncang. Dia terperajat. Matanya merah ketakutan. Air mata sudah menari-nari dipelupuk mataku. Namun melihat adik kecilku menangis histeris. Air mata itu urung melaju. Kedekap dia dan kubisiki telinganya “ semua akan baik-baik saja, ambil kardus di almarimu, segera lari kedepan. Mobil tentara sudah menunggu”. Mata kecilnya menatapku, seolah ingin mengatakan “ bagaiman denganmu mbak??”. Namun sebelum ia sempat berkata , kutarik tangan kurusnya untuk berdiri. Kupandangi, dia berlari diantara kerumunan anak-anak lain yang sedang ketakutan. Tak ada lagi kardus. Kuambil kerudung persegi empat dilemari. Segara kubungkus semua buku-buku dan pakaina yang kuanggap penting. Kulihat teman-temanku masih membereskan barang-barangnya. Sedikit kubantu. Beberapa menit kemudian kami sudah menuruni anak tangga. Kulihat adikku masih menangis dipojokan mobil tentara itu. Mobil siap mengangkut kami ketempat yang entahlah!! Kami pun tak tau akan dibawa kemana. aku duduk dipojok belakang. Beberapa temanku menangis, bahkan ada yang berteriak histeris. Kami hidup dalam dunia hati kami masing-masing. “oh.. tuhan,, lima tahun lebih aku hidup dan menorehkan sejarah di sini, didesa yang pernah mengajariku bagaimana menjadi seorang yang dewasa. 5 tahun aku tidur, belajar, bermain, bercanda diatas tanah leluhur ini tuhan. Tolong jangan biarkan mereka merampas kenangan kami, hidup kami…” Mobil mulai melaju, meninggalkan jalanan yang dulu pernah aku berlari diatasnya, mengejar matahari dibulan puasa. Dibumi yang waktu itu ayahku menangis melihat gadis kecilnya berpidato dengan lantang diatas podium. Aku benar-benar meninggalkannya, melewati masjid, sekolahan, rumah-rumah warga, kemudian hilang. Dari depanku, seorang gadis kecil berkerudung merah, matanya sembab. Dia bergumam pelan. “kapan kita akan kembali ke pesantern lagi mbak??”

Oleh: Icha Wahyu (Crew Ara-Aita) 

1 komentar: