1 April 2011

Luntas Revolusi

Sampai aku menulis di lembar yang ke dua ribu delapan ratus dua puluh tiga, pada seratus tiga puluh judul tulisan yang berbeda. Tak ada satu pun yang direngkuh oleh tangan-tangan para penerbit, yang murahan sekalipun. Aku belum lelah. Sampai tinta itu kering. Sampai kertas-kertas itu menguning dan lusut. Sampai tangan ini keluh. Sampai nafas ini sudah tak bersahabat lagi. Sampai bumi merengkuh jasadku kembali.
Jauh disudut yang berbeda, digubug reot yang dulu pernah tinggal seorang nenek tua. Aku pernah digendong dan diasuhnya sebelum pindahanku ke kota metropolitan Surabaya. Sebelum malaikat yang konon berjubah hitam itu membawa mandat dari tuhan untuk menjemputnya, dia sempat berbisik padaku “rubahlah duniamu dengan tintamu nak, sesungguhnya tinta itu akan mengantarkanmu pada kedudukan yang tinggi kelak”. Sungguh semua yang dikatakan oleh nenek tua bukan tanpa sebab. Tapi aku yang hanya tamatan SD tak pernah berteman dengan siapapun, kecuali wanita tua itu dan alat tulisku.
Imajinasiku tak pernah pudar oleh ocehan-ocehan murahan para penerbit itu. Itu hanya akan membuat akalku semakin liar. Menjulur menjilat, merasakan semua dinamika kehidupan manusia, yang belum pernah tersentuh olehku sekalipun. Tinta itu akan semakin cepat mengalir mengikuti setiap dimensi waktu. Bereperang dengan otak-otak busuk diluar sana. Yang selalu mengata-ngatai bahwa tulisanku tak ubahnya sampah kotor. Kata-katanya tak beraturan. Daya jualnya murah. Karena kebanyakan tulisanku hanya cerita-cerita simpul tentang para pahlawan, atau para veteran perang yang semakin dilupakan jasa-jasanya. Atau sekedar cerita anak manusia yang teronggokkan dalam kesengsaraan hidup. Atau cerita seorang nenek yang hidup dengan keringat dan air matanya, berjuang untuk seorang anak yang dulu pernah diambilnya dari semak belukan pohon beluntas, lalu diasuhnya dengan tangan kasarnya dan dihadiai sebuah nama. LUNTAS REVOLUSI. Seperti nenekku. Wanita tua digubug reot nun jauh di kampung kumuh.
Diruangan kecil dan pengap itu aku menghabiskan hari-hariku disurabaya. Aku meninggalkan gubug reot itu. Meninggalkan kenangan bersama wanita tua yang bersahaja. Beradu nasib dikota yang tak pernah terlelap. disaat orang tertidurpun kota itu masih temaram dengan lampu-lampunya. Seperti tatanan galaksi bima sakti. Dari satu lampu ke lampu yang lain sinarnya saling berpantulan. Menambah kecantikann eksotika Surabaya malam.
1990. Dua tahun disurabaya, tubuhku semkin lepek. Kurus seperti jarang makan. Tapi memang. Aku hanya makan sebungkus nasi dalam sehari atau malah hanya sebungkus roti. Menjual Koran memang tak menjajikan apapun untukku. Hanya sekedar untuk mengganjal perut. Perut yang semakin hari semakin lempeng. Tapi dengan potongan tulang rahangku yang kokoh menonjol ke depan, bak menantang kehidupan. Mencerminkan jiwa yang kokoh. Meski perut lempeng tapi semangat hidup masih voltase tegangan tinggi. Tak sedikitpun putus asa mengekoriku.
Dari pintu ke pintu. Dengan harapan nenek tua. Bahwa suatu saat nasibku akan berubah dengan tintaku. Tak lelah dan tak kapok. Sampai kakiku terasa tebal oleh aspal jalan raya. Aku tak lagi punya sandal tebal. Sejak dua tahun yang lalu, sampai sandal yang dibelikan nenek tua dari hasil menjual jagung dikebun itu menipis, sangat tipis. Hingga kasarnya aspal mengeruk-ngeruk telapak kakiku. Sampai keringatku menggantikan mandi siang dan soreku. Panasnya Surabaya tak terasa lagi. Seperti bersahabat dengan matahari.
Ini adalah pintu yang ke Sembilan puluh dua kali. Di seberang trotoar jalan dharmawangsa, yang padat manusia. Rumahnya besar, didepannya ada papan nama yang teronggok lusuh. Kayu pinggirannya mengelupas. Cat kuningnya sudah pudar menjadi putih lusut. Ada nama besar disana. Nama yang menjadi pengharapanaku untuk yang kesekian kali dan mungkin yang terakhir kali. PENERBITAN LASKAR ILMU.
Langkah luyuh kakiku memasuki pelatarannya yang lebar. Tiga kali luas kamar kosku. Sepi. Seorang lelaki dengan jambang tipis didagunya sedang membaca Koran diteras depan.
“assalamualikum…” parau suaraku mengangetkannya. Dagu berjambang itu terangkat keatas.
“duduk!” dengan matanya dia menyilakanku duduk dikursi kosong disampingnya. Koran diletakkannya di meja kecil depan jajaran kursi. Tanganya usik memparbaiki letak kaca matanya. Menelanjangiku mulai kaki hingga ujung rambut kumalku. Matanya berhenti pada bungkusan Koran dipangkuanku.
“Apa yang kau Bawa itu anak muda?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari bungkusan Koran dipangkuanku.
“saya Luntas Revolusi pak. ini adalah penghidupanku pak, tetesan keringatku, semangat nenekku.” Matanya masih menunggu kata-kata keluar dari mulutku.
“karyaku pak. Kulihat disini penerbitan buku.” Tiba-tiba dia mengalihkan pandangan pada papan nama lusuh di depan pagar rumah besar itu. garis-garis kerutan mulai bermunculan di keningnya. Matanya menyempit.
Kau telat nak. Beberapa minggu yang lalu tempat ini masih menjadi pahlawan bagi orang-orang yang ingin menyuarakan keberaniannya menggugat eksisnya keadilan di negara kita. Tempat ini masih menjadi bibir bagi rakyat-rakyat kecil di pinggiran kota, yang hidup dari sampah, dari gitar kecil. Orang-orang miskin yang diusir dari tanah nenek moyangnya sendiri, hanya karena akan dibangun jalan diatas tanah rumahnya. Diganti dengan uang yang tak bisa lagi di tukarkan dengan rumah. Menggugat orang-orang yang menyelipkan uang rakyatnya ditabungan-tabungan mereka, diistana besar mereka. Kau telat Nak!. Orang-orang besar itu telah menutup penerbitan ini. Mereka telah membakar semua alat penerbitan ditempat ini. Mereka tak ingin ada tikus-tikus yang mengerat kursi kekuasaannya. Mereka ingin Berjaya tanpa terusik Nak!.
PENERBITAN LASKAR ILMU. Ditutup oleh mereka yang ingin membungkam jeritan korban-korban kekuasaan.
Ku cium tangan halusnya. Kembali melangkah melewati pelataran luas tadi. Menyongsong matahari diluar pagar. Panas menyengat. Jalan raya tak sepadat tadi. Agak lenggang. Sore ini aku harus segera kembali ke kamar kosku. Koran harus kujual habis. Uang di kantong sudah tak ada lagi. Kakiku berjalan cepat, berlomba dengan kucuran keringat yang keluar dari ujung keningku, dari punggungku.
Tiba-tiba ada sesuatu yang menghantam tubuhku begitu keras. Aku masih sempat melihat bungkusan koranku terpelanting jauh di terotoar jalan. Gelap.
*
Surabaya,2000.
Beberapa orang berkemeja hitam sedang membagikan lembaran pamflet seminar bedah buku disebuah universitas di Surabaya. Dilengan kemejanya jelas tertulis REVOLUSI. Sebuah oragnisasi Club Fans besar disurabaya, yang dimotori oleh seorang lelaki tua berjambang. Bekas pimpinan penerbitan LASKAR ILMU.
Seorang lelaki berjambang naik ke sebuah podium. Di depannya riuh suara ratusan orang sedang mancari tempat duduk di sebuah aula besar.
“10. Tahun lalu kita telah kehilangan seorang penulis besar tanpa penghargaan. Tak dikenal. Di acuhkan. Jasadnya teronggok dijalan raya tertabrak sebuah truk pengangkut pasir. Dahulu tak satupun penerbitan berani menerbitkan karyanya. Sampai dia dimakan tanah pun, Maha karyanya masih berdiam diri tak tersentuh. Penuh dengan controversial. Mengangkat tema sosialis humanisme. Menyindir pada penguasa saat itu dengan goresan tintanya yang tajam, menukik. Tanpa takut, tanpa tedeng aling-aling. Dia beberkan segala realitas yang dia temui, apa adanya, tanpa ilusi”
Bedah buku “REVOLUSI di semak belukar luntas” yang menceritakan lahirnya seorang revolusioner di zaman orde baru, berjalan dengan lancar. Sore itu lelaki berjambang mengadakan sebuah jamuan makan untuk anggota-anggota clubnya. Di rumah besarnya, dengan papan nama tetap teronggok seperti 10 tahun lalu.
Di sebuah jembatan layang dua pemuda sedang menurunkan spanduk. Sekilas terlihat sebua tulisan. “ Memperingati 10 tahun wafatnya LUNTAS REVOLUSI. Dengan Semangat Juang Pemuda Memberantas Ketidakadilan”.

Oleh: Icha Wahyu (Crew Ara-Aita)

1 komentar:

  1. tulislah lagi lembar ke dua ribu delapan ratus dua puluh empatmu. semoga...

    BalasHapus