10 Desember 2011

Cahaya dalam Gelap

Kebanyakan orang saat mencari tempat tinggal, tentu akan memilih lokasi aman, strategis, secara bisnis ekonomi bisa terjangkau oleh siapa pun dan bisa hidup berdampingan dengan masyarakat yang baik. 
Namun sebaliknya, bagi keluarga Khoiron pada saat ayahnya Haji Syuaib memutuskan untuk pindah ke Jalan Dupak Bangun Sari, ia tidak memandang situasi penghuni kampung pada saat itu. Dalam benaknya, ia hanya memerlukan tempat tinggal yang lebih luas. Di banding, menanggung pajak bangunan yang cukup mahal. Hingga, sekitar tahun 1960-an ia sekeluarga bertahan hidup di kawasan Jalan Demak. Setelah mendapat penawaran rumah baru dari tetangganya. Di tahun 1970, Haji Syuaib pun memboyong keluarganya ke kawasan yang sering disebut sebagai tempat lokalisasi. “Saat itu situasi warga di sini mayoritas memiliki rumah bordir,” cerita Khoiron mengenang kondisi penduduk Bangun Sari pada 30 tahun silam. 
Konon, kata Khoiron tempat tinggal yang dihuninya sekarang merupakan bekas rumah bordir. Tetapi, ketertarikan ayahnya Haji Syuaib hanya terletak pada lahan yang begitu luas pada rumah tersebut. Mengetahui prilaku orang-orang disekitarnya, menurut Khoiron ayahnya tak memandang sebelah mata, malah Haji Syuaib menyarankan untuk selalu bersikap sahaja dengan mereka. “Wis ngono ae, biarin dulu, mereka itu masih belum tahu,” tutur Khoiron menirukan perkataan ayahandanya. 
Sejak kecil, Khoiron benar-benar mengetahui jelas keadaan masyarakat di Bangun Sari. Sebab, di tahun 1970-1980-an kawasan tersebut telah santer terhitung sebagai wilayah lokalisasi terbesar di Surabaya bagian Utara. Terdaftar kira-kira sebanyak 3000 orang berprofesi sebagai pekerja seks komersial (PSK). Apalagi kawasan Bangun Sari terdiri dari 04 RW, dan semuanya pun tersebar meliputi 15 RT. Sehingga, masing-masing RT rumah hunian pun menjadi tempat wisma maupun rumah bordir. “Jadi, waktu dulu 90 persen Bangun Sari adalah tempat prostitusi,” kata bapak tiga anak ini. Dahulu, sempat pula Bangun Sari diberi julukan sebagai “Hollywood-nya Surabaya”. 
Karena keter-“buka-bukaan” mereka kerap dikunjungi para pelanggan. Meski hidup dan tumbuh dengan lingkungan yang penuh hiruk bingar penjajak komersial. Khoiron tetap berada dengan asuhan keluarganya yang agamis. Terbukti, dirinya mengenyam pendidikan dasar di salah satu Madrasah Ibtidaiyah di Bangun Sari sampai 1972. Setelah itu, ia nyantri selama sekitar enam tahun di salah satu pesantren tersohor di Jombang. Seusai menamatkan pendidikan Tsanawiyah dan Aliyahnya di Jombang, tahun 1982 ia pun kembali tinggal di Surabaya. Menyadari semakin menyeruaknya keberadaan mereka, semakin ramainya pengunjung yang menghampiri rumah bordir, Khoiron pun tiba-tiba merasa tergugah untuk melakukan sesuatu bermanfaat untuk mereka. Terlebih, Khoiron ingin perlahan membuka kesadaran diri mereka agar mau tertuntun menuju kehidupan yang sebenarnya. Yakni, memperoleh hidayah dari Allah SWT. 
Dengan demikian, Khoiron pun mengambil langkah untuk berdakwah di area Bangun Sari. Mulai tahun 1984, suami dari Roudhoh ini bergegas menjalankan misi dakwahnya. Dengan berbagai pendekatan ia tempuh, agar dirinya bisa melaksanakan kegiatan amr ma’ruf nahi munkar di pemukiman yang sarat dengan kemaksiatan ini. Strategi pertama, ia pun mencoba PDKT dengan ketua RW setempat, sebab menurut Khoiron, kepala Rumah Warga tersebut mempunyai peran cukup besar di tempat lokalisasi tersebut. Apalagi menyangkut kebijakan-kebijakan dan berbagai sangsi yang dibuat oleh ketua RW, para PSK, Germo, pelaku Mucikari pun akan patuh. “Bahkan, bisa dikatakan mereka itu semuanya takut dengan RWnya, jadi mereka itu nurut,” ujarnya. Memahami hal tersebut, dirinya lantas berpikir untuk lebih intens berdekatan dengan seluruh ketua RW yang ada di Bangun Sari, “Minimal saya harus menjadi mitra RW, agar dakwah saya bisa terlaksana,” papar pria dengan senyum sahajanya. 
Ia pun berdialog secara face to face dengan para RW, kemudian bertanya tentang carut marutnya prilaku kehidupan para warga di wilayah sekitar. Pertanyaan sederhana yang dia lontarkan yaitu adakah keinginan bagi mereka mengajak para pelaku prostitusi untuk kembali sadar?, dan waktu itu ketua RW dengan antusias merespon. “Aku yo pengen, wong-wong kene sadar kabeh,” inilah jawaban para RW yang diperagakan oleh Khoiron. 
Dengan dibekali niat sungguh-sungguh, akhirnya Khoiron berhasil menjalin kerja sama dengan kepala RW. Sebagai langkah awal, dirinya mencoba memberi suguhan siraman rohani. Dibantu oleh para humas RW atau para hansip setiap hari kamis, menyebarkan katalog/ kartu keplek yang berisi mengenai kebijakan RW meliputi masing-masing rumah wisma harus mengirimkan delegasi untuk mengikuti pengajian. Jika tidak, akan dikenai sangsi agar bisnis gelap mereka ditutup. Bersyukur, rutinitas keagamaan yang diadakan pada siang dan sore di gedung bioskop ini terkondisi baik. “Sebelum diberi wejangan, mereka disetel-kan film, seperti filmnya Rhoma Irama, baru setelah menonton acara pengajian pun dilakukan,” kisahnya meng-flash back perjuangan semasa dulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar