Entahlah, sudah berapa lama serpihan-serpihan ini berserakan.  Mungkin hampir 2 tahun. Serpihan-serpihan ini kembali aku temukan di  lembaran-lembaran kertas yang terbengkalai dan puluhan memori yang  tersembunyi jauh di ujung pikiranku.
Serpihan-serpihan ini jika kamu mau  menatanya, tak ayal, mereka pasti membentuk satu kesatuan utuh. Satu  kesatuan yang banyak orang menyebutnya sebagai masa lalu. Bukan sekedar  masa lalu yang telah bau dan bisu. Serpihan-serpihan itu jika disusun  rapi, mereka mampu menciptakan masa lalu yang hidup; berbicara dengan  lancar, bahkan mungkin ia bisa koar-koar.
Entahlah, tapi yang pasti aku  enggan untuk menyusunnya kembali. Kenapa ? Karena kalau ia tersusun  utuh, bisa-bisa ia membunuhku. Lha koq bisa ?
Jelas bisa. Ini  serius. Masa lalu itu sengaja aku pecah menjadi serpihan-serpihan kecil  karena saat itu ia mau membunuhku. Emangnya aku gila sehingga mau dikejar-kejar oleh pembunuh manusia nomor satu ?
Btw, sebenarnya, pembunuh manusia nomor satu itu bukanlah  rokok, apalagi sakit jantung. Sudah pasti, pembunuh nomor satu manusia  adalah masa lalu dia sendiri.
Tidak percaya ? Coba saja korek-korek  dalam pikiranmu, lalu kumpulkan tiap serpihan yang ada, kalau memang  sudah terkumpul, gabungkan jadi satu. Aku jamin, niscaya kamu akan  terbunuh olehnya. Sudahlah, ini aku sajikan sebagian dari  serpihan-serpihanku. Semoga ini bukan semuanya, sehingga mereka tidak  dapat disusun menjadi satu; jadi aku tidak dapat terbunuh oleh  orang-orang usil yang sengaja mengumpulkan serpihan-serpihan itu dengan  maksud untuk mengakhiri hidupku. Tak akan kubiarkan…
Pagi itu, sebersit cahaya mentari menyeruak
mendapati kau dan aku berdua
mungkin iri akan kemesraan kita
Ia tak beranjak, bahkan
semakin garang malah pancarkan panasnya
Tapi kini, sebersit cahaya mentari,
itu kembali;
Ia tertawa girang, senang bukan kepalang
ketika mendapati aku tergolek lemas
di ranjang air mata…
Kudapati kau di antara serombongan anak kuliah,
kulihat sesosok tubuh putihmu berdiri dengan senyum manis terkembang
Lalu, kugapai dirimu dengan senyum lembut,
dengan tatap mesra ketulusan
Dalam hati terbersit aura kasih.
Kuyakin kau akan paham,
mengerti setiap gerak mata ini,
akan tiap butir ketulusan hati
Meski pesimisme menaungi pikirku,
apakah kau juga tulus terhadapku ?
 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar