4 Oktober 2010

Aku Harus Ikhlas Melepasmu

Assalamualaikum w.w.

Bismillah hi Rahman ni Rahim


Setelah aku jauh melangkah, setelah dua gunung aku lalui. Aku bertemu banyak bunga dan kumbang. Mereka ada yang ramah juga ada yang pemarah. Walaupun demikian mereka semua memberi aku sebuah nasihat tentang kehidupan.

Setelah aku sampai pada suatu karang di tepi laut, kulihat kembali perjalanan masa lampau. Kulihat lagi dua gunung yang telah aku lalaui. Ku lihat lagi elang yang masih menyeruak memanggilku untuk menyemangatiku. . Tak terasa kakiku ini telah jauh melangkah, jauh hingga dua gunung dapat terlamapaui. aku belum pernah melangkah sejauh ini. Samapai jauhnya hingga tak kukenali lagi tempat ini, tempat di mana sekarang aku duduk termenung.

Aku masih juga termenung dan aku di sadarkan oleh deburan ombak yang mengantarkan nelayan kembali ke daratan dengan sinar mentari yang semakin menipis diganikan cahaya bulan dan bintang. Aku tersadar dan aku tanya pada diriku sendiri “Dimanakah aku sekarang? Dimana?”.

Ku lihat disekelilingku orang-orang yang tak ku kenal. Aku mau bertanya tetapi aku malu pada diriku sendiri, tetapi jika tidak bertanya aku tidak tahu jalan pulang. Lantas ku lihat ada dua sosok wanita hendak kembali ke rumah dari menjaring ikan. Sangat aneh, tetapi begitulah adanya.

“Maaf, boleh saya bertanya?”

“Iya, silakan”

“Mba, hendak ke mana? Bisa tunjukkan saya tempat untuk beristirahat?”

“Mari, silakan ikut saya.”

Sambil berjalan mengikuti dua wanita itu, aku berbincang dengan mereka menanyakan mengapa mereka menjaring ikan, tidak menunggu suami mereka berlabuh dan mengapa pula mereka tidak di rumah memasak untuk makan malam suami mereka. Mereka hanya menjawab “Ini adalah suatu perubahan. Zaman sudah mengeluarkan kami dari rumah kami dan inilah pilihan kami. Kami orang pesisir maka kami menjaring ikan.” Akhirnya sampai aku di rumah mereka. Setelah makan malam, aku melanjutkan cerita.

“Mba saya telah melewati dua gunung dan sampai di tempat ini.”

“Mengapa Engkau berjalan hingga sejauh itu?”

“Aku tak tahu. Aku tersadar ketika sudah sampai di tempat ini.”

“Engaku orang yang bodoh.”

“Mengapa?”

“Engkau tidak dapat memperjalankan kakimu ke tempat yang sudah digariskan untukmu.”

“Aku tidak tahu, aku hanya tersesat.”

“Jangan bersembunyi di balik kelemahan mu.” “Kamu wanitai. Kamu juga kuat”. “Ada yang tertinggal di belakang mu?”

“Tidak.”

“Bodoh!”

“Masihkah kau tidak ingat jasa makhluk di antara dua gunung itu? Sudah lupakah kau dengan kumbang yang melantunkan nyanyian untukmu? "

“Astaghfirullah.”

“Kau ingin tahu apa nama tempat ini?”

“Iya”

“Tempat ini bernama “Cinta”?”

Mendengar nama tempat dimana aku tersesat, aku meneteskan air mata. Ternyata selama ini aku tersesat dalam cinta. Cinta yang awalnya tulus berubah menjadi jalan terjal dan berliku yang membawaku sampai ke tempat ini. Ternyata, selama ini hidupku hanya untuk sebuah cinta yang hanya mengantarku sampai di tempat ini, tempat yang indah, tetapi hanya sementara waktu karena jika dua gunung itu meletus, lenyaplah tempat ini.

“Bagaimana aku bisa pulang?”

“Kau takkan bisa pulang!”

“Jadi aku akan mati di tempat ini?”

“Kau tidak pernah belajar!” “Mengapa kau harus mati di tempat ini?” “Kau bisa sampai di sini mengapa kau takut tak bisa kembali?”

“Kalau begitu tunjukan aku jalan pulang?”

“Tak bisa!” “Kami tak bisa tunjukimu jalan pulang. Hanya kau sendiri yang dapat menemukannya, tapi kami bisa beritahu apa nama jalan untuk kau pulang.”

“Apa namanya?”

“Ikhlas”

1 komentar: