Tak
pernah memberikan ruang sedikit pun padamu untuk mengenal cinta lain selain
pada cintaku yang maha, sehingga mungkin saja kau merasa bosan dan jenuh sebab
hanya mengenal satu warna cintaku saja, dan engkau pun berlalu menjauh.
Khilafkau
…
Adalah
Mebiarkanmu kedinginan di luar sana, mempersilahkan angin memanjati rambutmu
dan menapaki alismu, sehingga ketika kubelai kau dengan ketulusanku semuanya
tak lagi bermakna, sebab kau lebih merasa nyaman di luar sana, dan kau pun
lenyap menghilang.
Khilafkau
…
Adalah
Terlalu mengagungkan dan mengagumimu, tanpa berpikir panjang bahwa semuanya
hanya sekedar ilusi dan fantasi dari inderaku yang tak jarang sering menipu,
sementara jauh di luar sana yang terjadi malah biasa-biasa saja, malah
keagungan dan mengagumimu hanya fana saja, dan kepergianmu pun tak terbendung.
Khilafkau
…
Melupakan
kenyataan tentang bahawa “Cinta bukanlah segala-galanya”, lebih dari itu
segala atribut yang mencukupi untuk melanjutkan hidup itu lebih penting dan
utama, sehingga ketika kutawarkan cinta sebagai pilihan hidup kau malah mentangan
kirikannya. Dan kau pun berpaling, meninggalkanku dengan derita yang
hingga saat ini masih tersisa.
Khilafkau
…
Tak
pernah memberikan kesempatan pada hatiku sendiri untuk membuka ruang pada
perempuan lain, sehingga ketika semuanya berakhir tak ada lagi yang tersisa
selain hanya kesedihan yang tak bertepi.
Aku lahir dari resah
desah angin dan gelisah musimYang menahan debar yang kapan saja bisa runtuh
Entah angin musim seperti apa lagi
Yang akan mengurungku di setiap tikaman waktu
Pada esok
Entah musim seperti apa lagi
Yang akan memajang bukit pasir di gurun yang lain
Gurun yang belum jua ku beri nama
Sampai tiupan sangkakala musim tak kunjung lembab
Saat kemarau berkepanjagan
Berharap membasahi dahaga
Aku pergi dengan sejuta kata yang tercuap
Ketika gemuruh dada ini gundah merentak rentak
Meregang bingung karena rindu
Ku ingin berpetualang
Untuk menanam kembali mata air di gurun pasir yang dingin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar