26 Desember 2010

TUHAN juga Cemburu

Oleh: Ach. Dhofir Zuhry1)

“… Allah sekali-kali tidak menjadikan dua buah hati dalam rongga dada seseorang…” (QS:Al-Ahzab, 33: 04)
Adakah di antara kita yang tidak pernah cemburu?, bisakah kita menghindar darinya?, apakah cemburu memang memiliki keselarasan diametral dengan segala bentuk aksentuasi hidup kita? Dan yang lebih penting, sanggupkah kita menjadikan kecemburuan itu sebagai sebuah kekuatan “lain” bagi kita?
Dunia, alam raya tempat segala kepalsuan hidup yang paling genit ini memang akan terus memuai (expanding universe) yang tentu saja akan diikuti oleh perkembangan dan perluasan nilai (expanding values) dalam segala aspek kehidupan, begitu juga dengan cemburu dan kecemburuan. Diapresiasi dari disiplin ilmu manapun, cemburu memang sama tuanya dengan usia sejarah umat manusia, terhitung sejak penduduk bumi baru berjumlah enam orang (Adam As, Hawa, Qabil, Habil dan kedua orang saudara perempuannya), cemburu memang telah ada dan berbuntut peristiwa pembunuhan untuk pertama kalinya, bahkan, konon Adam As “terusir” dari surga lantaran kecemburuan Iblis.
Cemburu tidak hanya berlaku bagi manusia, perikemanusiaan, kebinatangan dan peri-peri yang lain mungkin tidak akan pernah terselenggara dengan sempurna secara dinamis dan dialektis tanpa adanya cemburu. Cemburu atau juga kecemburuan—selain banyak digunakan dalam literatur cinta, juga dalam sistem sosial kemasyarakatan, pendidikan, ekonomi, politik dan konstelasi kebudayaan kita—adalah sebuah situasi di mana kemesraan, harmoni dan nilai tertinggi dari kesetiaan dicederai, dilukai atau paling tidak dibatasi dan dikagetkan oleh sebuah hentakan sikap yang tentu saja menjadi beban di pundak psikologis siapa pun. Perlahan, secara diam-diam (diakui atau tidak) kecemburuan menuntut yang bersangkutan untuk melakukan “sesuatu” atau setidaknya katarsis2). Maka (logika pendeknya), yang menjadi penyebab terjadinya pelampiasan emosi itu adalah mengendapnya rasa cemburu dalam batin manusia.
Memang pada prinsipnya, cemburu, sesederhana apa pun motif dan geraknya tentulah menjadi tetes-tetes racun dalam diri seseorang (atau juga lembaga) yang lambat-laun akan mengikis kesadaran dan balancing power dalam diri. Namun demikian, cemburu tidak harus melulu terlahir dari rasa cinta, tapi juga dapat terlahir dari perasaan benci atau juga pola hidup yang selalu dibingkai oleh kebenciaan terhadap sesama. Bagi seseorang yang di tanah prsikologisnya hanya ditanami benih-benih kebencian, pasti akan memandang hidup dengan cara yang pesimis, naif dan kontra-produktif dengan selalu mencari-cari kesalahan orang lain. Padahal sejatinya mencari-cari “kesalahan” orang lain, berarti menutupi “kesalehan” dirinya sendiri, dan itu juga berarti menutup akses-akses kesalehan sosialnya. Itulah kenapa dalam konstelasi kebudayaan, iri terhadap perbuatan baik atau punya budaya malu bukanlah cemburu, tapi kecenderungan untuk maju. Pernah suatu ketika dalam sebuah perbincangan ketika seorang kawan menceritakan mobil mewah terbarunya yang made in Jepang, saya justru terperangah, kenapa hanya produk-produk otomotif Jepang yang kita impor?, kenapa bukan budaya malu dan etos kerja “Samurai” mereka yang kita datangkan ke negeri ini?
Cemburu merupakan sebuah unsur destruktif yang memasuki—dan meracuni secara sepihak dan personal—perangkat psikologis dalam diri manusia, itu artinya kecemburuan tidaklah statis dan beku, sehingga tentu saja memiliki nilai, relativitas dan probabilitas. Kenapa demikian? Sebab ketika tirai kecemburuan itu dibuka, maka yang tampak dan tebentang adalah jazirah cinta yang mahaluas. Sehingga dalam tutur bahasa sehari-hari sering kita dengarkan bahwa cemburu berarti cinta, sekalipun dalam tatanan kehidupan masyarakat luas—cemburu sosial, misalnya lebih diartikan sebagai sikap iri terhadap orang, kelompok atau sebuah pranata dan tatanan. Dengan lain kata (contoh kasus), ketika A tidak mendapati dirinya seperti B dalam prestasi, prestise, reputasi dan strata sosial, maka ia akan cemburu, ketika X tidak mendapatkan popularitas, pengakuan publik—yang dengan meminjam istilah Maslow, self esteem—seperti yang dirasakan Y, kontan ia juga cemburu. Sederhananya begini, kecemburuan pada mulanya adalah tidak menentunya suasana hati dalam mengambil (determinasi) sikap atas realitas-realitas yang membentang di hadapan kita, hal ini boleh jadi disebabkan oleh dibatasinya “fungsi” dan “penjangkaran nilai” dari diri kita terhadap yang lain, sehingga yang ada hanya suasana inhibisi (inhibition), yakni ketika pengaruh, fungsi dan peran sosial kita (dalam prosesnya) dihalangi dan atau dibatasi oleh fungsi yang lain, maka spontanitas akal sehat pun sirna sebab kendalinya telah digantikan oleh emosi. Begitulah kecemburuan terjadi, mengembang dan berkuasa atas diri manusia.
Nah, bagaimana dengan Tuhan? Apakah rasa cemburu dalam diri kita ini memang sudah dipasang sebagai software oleh Tuhan?, atau mungkin cemburu sekedar produk kebudayaan?
Manusia, karena memang merupakan transparansi dari Tuhan yang paling riil, puncak tertinggi dari seluruh ciptaan Tuhan, tentu saja mewarisi sifat-sifat yang seharusnya hanya pantas disandang oleh Tuhan sendiri, misalnya; ingin dipuji, dihargai dan diakui. Sehingga, ketika pujian, penghargaan dan pengakuan itu telah ia dapatkan, maka sifat Tuhan yang lain (kesombongan), diambil dan diakuisisinya pula. Sebenarnya perasaan ingin dipuji dan dihargai sangat wajar dan normal, dengan catatan perasaan itu tidak terlalu dilebih-lebihkan dan ditonjolkan atau bahkan divisualisir ke dalam setiap prilaku dan sikap sosial dalam ruang publik. Semua harus diletakkan pada proporsinya yang paling seimbang, begitulah Kitab Suci mengajarkan. Namun, di samping fithri manusia juga dha’if, sehingga dambaan atau desakan untuk dihargai dan dipuji itu begitu kuat mengakar dalam batin kita, sekalipun hal itu tidak kita sadari. Itulah kenapa William James (1842-1910)3) menyatakan bahwa; “prinsip terdalam dalam sifat primordial manusia adalah keinginan atau idaman untuk dihargai”. Celakanya, perasaan ingin dihargai itu memiliki hukumnya sendiri yang bernama “cemburu”, sehingga penghargaan4) tidak pernah kita berikan kepada yang lain, apabila kita hanya menuntut untuk dihargai dan “dimenaragadingkan” tanpa pernah berkenan memberikan penghargaan yang layak kepada yang lain, di sanalah benturan yang melonjak menjadi konflik dan bencana akan segera dimulai, implikasinya keseimbangan dan harmoni tidak akan pernah tercipta dalam sistem kemasyarakatan dan kebudayaan kita. Demikanlah, jika “sesuatu” yang inner dalam kepala dan dada kita tidak menemukan titik simpul integrasinya (lantaran) cenderung menuruti “kecemburuan kerdil” itu, ketidaktertataan dan beragam benturan adalah satu-satunya keniscayaan yang tersisa dan akan terus mengancam, menikam dan membunuh substansi (jauhar) kita sesama manusia bersama dengan alam sebagai sebuah entitas tunggal. Bagaimana mengatasinya?
Pertama-tama, kecemburuan harus kita posisikan sebagai sesuatu yang “mungkin”, mungkin untuk diatasi, dinetralkan dan lantas diposisikan pada batas-batas kewajarannya. Kita tahu bahwa dalam diri manusia terdapat dua unsur, dua kekuatan mahadahsyat bernama arus jahat (necrophilia) dan arus baik atau daya untuk hidup dan memberi kehidupan (biophilia). Dan kita, sebagai manusia sejati tentu harus memilih satu di antara keduanya. Lantas, bagaimana meletakkan kecemburuan itu ke dalam aquarium biophilia?, bagaimana menjadikan rasa cemburu itu sebagai sesuatu yang positif?, bagaimana menjadikan kecemburuan itu justru sebagai semangat?
Jawaban paling sederhana dan kampungan adalah berpikir tentang hasil (outcome thinking), artinya ketika kita merasa cemburu, tanyakan pada diri kita; apa yang dapat saya hasilkan dari cemburu?, apa untungnya kalau saya cemburu? Perlu digarisbawahi bahwa keuntungan adalah posisi yang paling adil antara kita dengan yang lain—keadilan pola pikir dan pola sikap, tentu saja kalau cemburu itu diimbangi dengan rasa malu.
Sejatinya sisi negatif dari kecemburuan bisa kita umpamakan sebagai virus yang tidak mungkin bisa dibunuh atau dimatikan begitu saja, sehingga cara yang paling efisien adalah dilumpuhkan, caraanya? Di sini, kata kuncinya adalah “kendali”, ya, pengendalian diri adalah “kartu As” untuk melumpuhkan kecemburuan itu, determinasi jiwa dan kearifan sikap adalah harga mati bagi kecemburuan yang sempit itu. Dengan demikian, rasa cemburu akan selalu menemukan titik positifnya, sebab jika tidak orang yang mengalami kecemburuan (negatif) akan terus terpuruk dalam suasana hati yang defisit dan merugikan. Apalagi manakala kita tarik pada sesuatu yang paling asasi dan prinsipil dalam diri manusia, agama misalnya. Agama tentu saja melarang manusia untuk cemburu (buta) terhadap yang lain wa bil-khusus dalam urusan dunia, apa sebab? Pada umumnya seorang pencemburu adalah orang yang tidak berprinsip, bersabar dan bersyukur menjalani hidup. Pendeknya, cemburu akan membunuh nalar-nalar sehat dan kecenderungan progresif dalam diri manusia, sehingga kalau term itu dibalik akan berbunyi begini; cemburu yang wajar adalah cemburu yang terus belajar untuk mengkooptasi nilai moral, mengupayakan keikhlasan idealisme dan meminimalisir keinginan-keinginan temporal. Barangkali inilah alasan kuat kenapa Tuhan hanya menciptakan satu hati dalam rongga dada manusia. Kenapa? Karena Tuhan juga punya rasa cemburu, lagi pula mendua-hati dan menyekutukan Tuhan (syirik) adalah prilaku orang-orang munafik, sehingga syirik adalah dosa besar yang “tidak terampuni”. Namun simplifikasinya, dengan cemburu itulah Tuhan secara total mencintai kita; sebagai manusia dan yang mampu menjadi manusia seutuhnya. Wallahu a’lam.
Catatan Kaki
1 Lahir di Malang-JawaTimur 04 Juli 1984. Alumnus Pesantren Babussalam Malang dan Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo. Bukunya yang sudah terbit di bidang tasawuf dan teologi Tersesat di Jalan Yang Benar (Kalam Mulia Jakarta, 2007), Terjemah Shalawat Haji (Nurudh-Dholam Institute, 2005), segera menyusul kumpulan cerpen sufi Para Nabi Dalam Botol Anggur (Januari 2008) Saat ini menjabat sebagai Direktur pada badan anti-Narkoba Center of Information and Drug Abuse Service. E-mail: ach-dhofir@plasa.com
2 Catharsis (Ing.) arti sebenarnya pembersihan atau upya membersihkan, namun istilah ini dalam tutur bahasa atau literatur psikologi berarti pelampiasan atau pelepasan emosi sehingga yang bersangkutan akan merasa lega. Bdk. Misalnya; Dr. Kees Bertens, Memperkenalkan Psikoanalisa Sigmund Freud, Gramedia Jakarta, 1982.
3 Adalah filsuf dan psikolog abad 20 yang terkenal dengan “pragmatisme”nya. Benar, kita tidak pernah menyadari perasaan ingin dihargai itu lantaran “kesadaran” tidak pernah kita anggap sebagai sebuah “fungsi” dalam diri kita. Lebih jauh James mengemukakan bahwa gejala-gejala keagamaan juga berasal dari kebutuhan-kebutuhan perorangan yang tidak disadari. Lih. DR. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah filsafat barat 2, Kanisius: 1991. hlm. 131-133.
4 Dalam Islam juga berarti shalawat untuk Nabi, penghormatan dan sikap ta’zhim.

2 komentar:

  1. Berarti kita sah-sah saja dong cemburu.....!!!!

    BalasHapus
  2. Ada nggak kata-kata yang lebih halus dari cemburu??

    BalasHapus