Menjadi pembicara
pada Latihan Ketrampilan Penerbitan Kampus Mahasiswa (LKPKM) se-Indonesia bukan
yang pertamakali buat saya. Pada LKPKM tingkat dasar di UGM Yogyakarta saya
sudah menjadi pembicara. Namun, saya tak tahu pasti, apakah pesertanya sama,
atau sebagian sama. Atau adakah yang di Denpasar sekarang ini (tingkat pembina)
adalah kelanjutan dari Yogya (tingkat dasar) dan Padang (untuk tingkat lanjutan).
Tentang materi yang
saya bawakan ini, Teknik Pengolahan Data, memang baru pertama kali untuk pers
kampus. Sebelumnya saya berbicara materi yang lain. Walau begitu, saya sempat
membaca makalah tentang Teknih Pengolahan Data pada tingkat-tingkat sebelumnya.
Saya melihat di sana
masih bergulat pada persoalan teori dan tidak menukik pada permasalahannya.
Mudah-mudahan kali ini saya sempat memberikan yang tidak sekadar teori, tetapi
juga contoh-contoh sehingga bisa dipraktekkan. Saya pikir, pada tingkat pembina
ini persoalan yang langsung pada permasalahan akan makin diperlukan.
Mengumpulkan Data
Sebelum mengolah
data, tentu harus diketahui dulu bagaimana teknik mengumpulkan data. Ada tiga hal penting
tentang cara mengumpulkan data untuk kepentingan penerbitan pers atau
tugas-tugas jurnalistik. Yakni: reportase, wawancara dan riset kepustakaan.
Saya tak ingin menjelaskan hal ini berpanjang-panjang, karena materi ini tentu
sudah didapatkan dari orang lain. Misalnya bagaimana teknik reportase ke
lapangan, bagaimana melakukan investigasi, dan sebagainya. Wawancara juga
demikian ada teknik-teknik khusus yang harus dilakukan seseorang. Sejak
mempersiapkan materi wawancara, mengetahui lebih banyak yang akan diwawancarai,
melemparkan pertanyaan pemancing, bagaimana bertanya supaya yang diwawancarai
tidak merasa diinterograsi, dan sebagainya. Semua ini tentu sudah diperoleh.
Adapun tentang riset
kepustakaan, ini memang tidak memerlukan teknik khusus. Dan saudara-saudara
yang selama ini sudah duduk di bangku universitas tentu tak asing dengan soal
ini. Dalam membuat paper, makalah, dan nantinya skripsi, hal-hal seperti ini
sudah pasti dilakukan. Dan itu sama saja untuk kepentingan jurnalistik.
Bagaimana kita
membongkar-bongkar buku untuk mencari data yang akan menunjang tulisan kita.
Atau memilah-milah klipping koran, atau menyimak brosur-brosur. Semua ini tak
kalah pentingnya dengan pekerjaan wawancara atau reportase. Di
penerbitan-penerbitan besar seperti TEMPO, Kompas dan lain-lainnya, tenaga
seperti ini yang dinamai periset statusnya sama dengan wartawan. Karena mereka
harus punya kejelian yang sama dengan wartawan. Bahkan mungkin lebih karena
mereka umumnya lebih banyak membaca buku dan mengingat peristiwa-peristiwa —
walau itu tak mutlak karena sekarang pendataan klipping, file, brosur, indeks
atau katalog buku sudah didukung peralatan komputer yang canggih.
Setelah Data
Terkumpul
Nah, setelah semua
data terkumpul, sebenarnya sudah dimulai teknik mengolahnya. Tapi, bagaimana
mengolahnya jika data itu sedemikian banyak? Sering penulis pemula merasa
bingung bagaimana memperlakukan data. Wartawan muda suka mengeluh: ”Aduh,
banyak sekali bahannya, bagaimana menulisnya, ya, bingung.”Jangan bingung.
Periksa dulu rencana awal (kalau Anda reporter biasanya ada lembar penugasan).
Pada perencanaan awal
itu tentu sudah ditentukan, data yang Anda cari itu untuk rubrik apa, fokus
ceritanya apa, lalu angle (sudut pandangnya) ke mana. Lalu cocokkan
dengan data yang Anda peroleh. Apakah sudah terkumpulkan semuanya? Kalau belum,
cari yang kurang. Kalau pas, siap-siaplah ditulis. Sering yang terjadi adalah
kelebihan data. Belanjaan terlalu banyak, istilah di pers. Sepanjang ”belanjaan
yang banyak” itu tidak mengubah fokus dan angle bukanlah persoalan.
Tetapi sering ”belanjaan” yang dibawa melenceng dari perenca naan awal.
Apa yang terjadi di
lapangan tidak cocok seperti yang diperkirakan di kantor. Apa yang dihasilkan
dari reportase dan wawancara tidak tepat seperti yang direncanakan sebelumnya.
Maka, yang terlebih dahulu ditentukan sebelum data diolah adalah apakah sudut
pandang dan fokus diubah, dan dengan perubahan itu tetapkah tulisan itu
menarik? Kalau ya, lakukan perubahan dulu. Artinya, data yang terkumpul itu
mengubah perencanaan awal, dan buatlah rencana tulisan yang baru sesuai dengan
data yang ada. Kalau itu juga mengubah rubrik, tidak apa-apa, sepanjang memenuhi
kriteria rubrik.
Di TEMPO misalnya,
sering dalam perencanaan awal untuk rubrik Kriminalitas tiba-tiba data yang ada
melenceng. Karena menarik lalu diubah jadi rubrik Hukum, atau Nasional. (Setiap
rubrik tentu memiliki kriteria-kriteria tertentu yang berbeda, dan ini adalah
kesepakatan pengelola redaksi penerbitan itu).Tetapi, kalau data yang terkumpul
itu melenceng dan tidak memenuhi standar untuk rubik apapun, juga tidak
mempunya sudut pandang baru dan fokus yang bagus, maka itu berarti gagal. Simpan
saja data itu untuk lain kali, tak ada gunanya dipaksakan.
Mengolah Data
Setelah ditentukan angle
baru atau data itu memang pas dengan perencanaan, langkah selanjutnya adalah
menyiangi data. Mana yang relevan untuk tulisan yang akan digarap dan mana yang
tidak. Jangan segan-segan membuang data yang tidak perlu, walau tadinya dicari
dengan penuh gesit dan susah payah.
Dalam proses
menyiangi ini akan terlihat apakah reportase dilengkapi dengan wawancara khusus
yang merupakan bagian tersendiri, atau wawancara itu dimasukkan dalam bagian
reportase, artinya menyatu dengan tulisan induk. Juga terlihat, apakah tulisan
itu perlu didukung oleh grafik atau tabel untuk lebih menjelaskan pada pembaca.
Ini mempengaruhi cara Anda menulis berita itu.
Dalam menulis (saya tak
menguraikan teknik menulis berita karena itu sudah ada bagiannya) sekali lagi
harus diingat: jangan segan-segan membuang data yang tidak perlu. Juga harus
diingat, trend penulisan sekarang ini — baik untuk berita maupun feature —
teknik penyajiannya sedemikian rupa sehingga orang membacanya dengan enteng dan
tidak susah.
Alurnya terpelihara.
Orang sekarang ini semakin sibuk dan informasi sedemikian banyaknya, sehingga
dalam mencari informasi itu orang tak mau memikirkan hal-hal yang tak perlu.
Karena itu, dalam sebuah berita pasti ada ”pelaku utama” dan ”pemain figuran”.
Jangan sekali-sekali memberi porsi yang besar kepada ”pemain figuran” sehingga
menenggelamkan ”pemain utama”.
Misal: Ada sekelompok petani
melakukan protes karena tanahnya digusur. Pemimpin kelompok itu dan
aktifis-aktifis lainnya adalah pelaku utama. Sedang figurannya adalah puluhan
petani yang lain. Kita tak perlu harus menyebut seluruh petani yang protes,
cukup pemimpinnya saja, atau pendampingnya yang vokal saja. Sedangkan puluhan lainnya
cukup disebut jumlahnya, asalnya. Tidak perlu deskripsi lengkap: nama-nama
mereka, usianya, deskripsi tubuhnya dan sebagainya. Tapi pemimpinnya perlu:
usianya, pendidikannya, caranya bicara dan sebagainya.Ini juga termasuk pelaku
yang lebih penting.
Sebagai contoh,
delapan anggota kongres AS berkunjung ke Indonesia. Karena mereka dari satu
partai yang sama dan delegasi ini merupakan satu kesatuan, maka yang disebut
cukup pemimpinnya saja. Apalagi yang lain tidak ngomong. Untuk apa menyebutkan
data-data yang lain, selain susah mengeja namanya, apa relevansinya untuk
pembaca kebanyakan?
Pergunakan data
sesuai dengan kebutuhan berita itu. Misalnya soal-soal detail. Tak semua detail
itu penting. Misalnya menyebutkan jarak terbunuhnya perampok di tangan polisi.
Apa gunanya menulis berita begini: ”Perampok itu ditembak polisi pada jarak 5,
74 meter.” Pembaca malah bisa keliru kalau membacanya cepat-cepat, lima meter atau tujuh
meter atau empat meter. Sebut saja angka bulat, misalnya, kurang dari enam
meter atau sekitar enam meter — walau Anda betul-betul mengukurnya secara tepat
dengan sangat susah.
Tetapi untuk hal
tertentu, detail penting. Misalnya, pertandingan sepakbola. ”Gol terjadi pada
menit ke 43”. Ini tak bisa disebut sekitar menit ke 45, karena menit 45 sudah
setengah main. Menit ke 43 sangat penting artinya dibandingkan menit ke 30,
misalnya. Atau tulisan begini: ”Pelari itu mencapai finish dengan waktu 10.51
detik.” Ini penting sekali bagi pembaca. Mereka akan marah kalau detail itu
ternyata salah.
Apakah pembaca
bingung melihat angka-angka ini? Tidak, karena sebelum mereka membaca berita
itu, mereka sudah punya persiapan rubrik apa yang dibacanya. Kalau rubrik itu
Nasional (di majalah) atau berita utama di koran tertulis seperti ini: ”Selesai
berdemonstrasi menentang SDSB, Polan pulang ke rumahnya. Baru 15 menit, 12
detik, 6 second ia di rumah, polisi dengan kekuatan 12 orang datang
menciduknya. Nama-nama polisi itu Erwin Siregar usia 26 tahun pangkat Serka,
Ida Bagus Rai usia 35 tahun pangkat Letda, Muhamad Jarnawi usia 28 tahun
pangkat serma asal Purwodadi…..” Ya, capek membaca kan? Untuk apa? Pelaku utamanya Polan, yang
lain figuran semua. Figuran terpenting di sini hanya komandan polisi yang
menangkapnya. Bahan-bahan seperti itu yang Anda dapatkan dari laporan polisi
(biasanya keterangan pers) tidak usah dipakai semua.
Sebar Data, Kalau
Penting
Ada kalanya data itu penting semua. Apalagi
ini menyangkut deskripsi seorang tokoh yang mau ditonjolkan, misalnya. Kalau
itu memang diperlukan, jangan memperlakukan data itu semaunya, ditumpahkan
dalam satu kalimat. Akan lebih baik kalau data itu disebar dalam beberapa
kalimat. Jangan dijubelkan.Contoh. Ada
seorang pelukis lumpuh bernama Ketut Rinuh. Ia menda pat penghargaan pemerintah
karena karyanya sangat bagus, tak kalah hebat dengan pelukis yang normal. Anda
sudah melakukan reportase di rumah Ketut Rinuh dan sudah mendapatkan data-data
yang banyak sekali. Lalu Anda menulis beritanya begini: ”Ketut Rinuh, pelukis
lumpuh sejak kecil dari Desa Kesiman, umurnya 50 tahun, anaknya sembilan,
istrinya guru TK, dan ia sudah berhasil menyekolahkan anaknya sampai menjadi
insinyur, mendapat penghargaan dari pemerintah karena karyanya dinilai sangat
bagus, melebihi karya-karya pelukis normal lainnya.”
Kalimat saya ini sebenarnya
sudah bagus karena meletakkan koma dengan benar. Kalau meletakkan koma ceroboh
dan sama sekali diabaikan, pembaca bisa bingung. Jangan-jangan yang dimaksudkan
”ia” itu istri Rinuh, jangan-jangan yang dimaksudkan mendapat penghargaan itu
anaknya yang insinyur.Tapi, sebagus-bagusnya kalimat seperti yang saya buat
tentu tetap capek membacanya. Dan itu bukan bahasa jurnalistik, apalagi
jurnalistik model sekarang ini yang sering disebut sebagai jurna listik baru.
Anda haru memecah-mecah data yang mendukung Ketut Rinuh itu. Misalnya:Pada
kalimat pertama Anda cukup tulis: Ketut Rinuh, 50 tahun, mendapat
penghargaan dari pemerintah. Kemudian dilanjutkan dengan kapan penghargaan
itu diberikan, dalam rangka apa, siapa yang memberikan. Lantas, tentang siapa Ketut
Rinuh dilanjutkan lagi dengan menulis: Pelukis lumpuh dari Desa Kesiman itu
begitu terharu menerima penghargaan itu. Kemudian dilukiskan suasana pada
saat upacara itu berlangsung. Mungkin, supaya berita tidak datar, Anda
membutuhkan kutipan. Di situpun Anda bisa mendomplengkan data. Misalnya: ”Saya
tak pernah mimpi mendapatkan penghargaan ini,” kata Ketut Rinuh, lelaki yang
lumpuh sejak kecil itu. Lalu Anda kembali melakukan reportase. Misalnya
Anda menulis: Saat menerima penghargaan itu Ketut Rinuh tidak didampingi
istrinya karena lagi mengajar di sebuah TK. Namun, ayah sembilan anak ini
tampak begitu bahagia.
Out-line Perlu
Membuat out-line
sangat perlu agar menggampangkan Anda mengolah data. Apalagi kalau berita yang
Anda rancang itu berita panjang atau sejenis laporan utama. Apalagi kalau
wartawan yang dilibatkan dalam pemberitaan ini tidak satu orang, tetapi banyak.
Banyak data yang akan masuk, banyak informasi yang datang. Out line akan
membantu karena ia mengatur lalu-lintas informasi, membagi permasalahan. Dalam
menuliskan berita Anda tinggal mengikuti out line itu.
Misalnya, Anda mau
menulis masalah perpakiran di kota
ini. Ada peg
baru (kejadian hangat yang membuat berita itu layak diangkat) yakni: urusan
parkir akan ditenderkan oleh Walikota. Nah, sebagai seorang redaktur yang
menangani proyek tulisan ini, Anda tentu menyebar banyak wartawan. Ada yang
mewawancarai tukang parkir, ada ke wali kota, ada yang mewawancarai pengusaha
yang berminat ikut tender, ada yang ke polisi, ada yang mewawancarai tokoh
masyarakat atau orang biasa. Bahan yang masuk tentu banyak sekali, sementara
jatah halaman yang tersedia terbatas. Maka out line sangat membantu
mengatasi masalah ini. Misalnya, Anda merancang kan begini:
Bagian pertama tentu
saja yang paling aktual (atau peg news) yakni menyangkut rencana tender parkir.
Berapa besar tender, bagaimana minat pengusaha, target pendapatan kotamadya
dari perparkiran, bagaimana perbandingan dengan tahun lalu ketika parkir tak
diborongkan.
Bagian kedua:
menyangkut kebijaksanaan perparkiran. Misalnya disorot masalah hukumnya. Apakah
seluruh wilayah kotamadya itu menjadi taman parkir? Kalau tidak kenapa di depan
apotek ini ada parkir, di depan nasi guling di sebelahnya tidak ada? Kenapa ada
parkir di trotoar, peraturan mana yang membolehkan? Kenapa tukang parkir saling
bersaing, apakah mereka yang menyetor sesuai target? Adakah kemungkinan
penyelewengan, karcis tak dirobek, lalu dipakai berulang-ulang. Kalau begitu
siapa yang rugi, pengusaha atau kotamadya?
Bagian ketiga: tanggapan
dan pendapat masyarakat. Pemakai jalan, polisi, tukang parkir itu sendiri.
Kalau tiga bagian ini masih kurang, mungkin perlu ada wawancara khusus yang
menjadi bagian tersendiri atau tulisan (opini) berupa kolom dari seorang pakar.
Misalnya, mereka menyoroti apa beda parkir dan penitipan motor. Kalau motor
hilang, apakah tukang parkir bisa dituntut. Apakah tukang parkir itu
bertanggung-jawab terhadap keamanan mobil atau motor atau mereka hanya
menyediakan tempat dan untuk itu kita membayar.Nah, kalau _out-line_ itu sudah
jelas, Anda tak akan lari ke mana-mana kalau sudah menulis. Tanpa kejelasan
itu, Anda bisa melebar ke mana-mana. Persoalan A belum selesai, Anda sudah
menulis persoalan C. Kemudian ingat lagi masalah A, ditulis lagi. Tulisan jadi
tak runtut. Akan terjadi pengulangan-pengulangan.Demikian sesuatu yang bisa
saya berikan semoga ada manfaatkan untuk Saudara-saudara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar