Bisa
jadi hidup memang sengaja diciptakan saling bertentangan, berlawanan, dan berbeda satu sama lain, agar
arus yang berputar mengelilingi masa tetap seimbang.
Mungkin
saja, ketidak seragaman itu menjadikan aku dan mereka berfikir sejenak,
merenung sesaat, berbisik pada jiwa, bertanya pada hati kecilnya. Kenapa dan
bagaimana hidup bisa bertentangan seperti ini. Bukankah perbedaan hanya mengundang
perpecahan dan penderitaan. Bukankah semua itu hanya kesia-siaan semata.
Tapi
bagiku tidak, semua ketidak seragaman itu pasti ada ruang di dalamnnya untuk
kita renungi dan maknai. Dengan maksud agar kita senantiasa selalu bersyukur
kepadaNya dalam situasi dan kondisi apa pun.
Semisal
apa yang aku alami saat ini. Dulunya, aku benar-benar mencintai dan
menyayanginya melebihi apa pun, bahkan jika ditakar dengan waktu, aku tak
pernah memberikan ruang kosong untuk tak memikirkannya, menyayangi dan
memperhatikannya. Bagiku dia segala-galanya, sebab pada sosoknya aku menemukan
panutan, pada kerlingan matanya aku mendapatkan kedamaian, pada senyumnnya yang
seruling bercermin aku menemukan kesejukan, pada lembut suaranya aku menemukan
kehangatan. Sepertinya tak ada yang tersisa dari sebagian hatiku, segalanya
habis telah aku labuhkan pada dermaga cintanya. Hidup ini telah ditentukan oleh
sang Rabbi, begitu juga dengan nasib cinta dan rindu. Jika ia berkehendak siapa
yang bisa menghalangi, tak ada dan tak bisa.
Seperti
berbalik sepersekian persen, tak ada lagi definisi cinta, tak ada lagi sapaan
mesra, tak nampak lagi kecriaan yang dulu selalu menghiasi. Sejak beberapa
bulan yang lalu, semuanya telah terenggut. Apa yang ada saat ini?, hanya
kebencian dan dendam yang tersisa.
Kenapa
aku harus membenci?, entahlah aku juga tak begitu memahaminya, aku juga tak
terlalu risau dengan kondisi ku saat ini. Yang jelas, setiap aku melihat
sesuatu yang mengigatkanku padanya, hatiku berontak, menggeram dan memaki. Meski
tak ada yang menyuruh, tapi hatiku tetap saja tak mau berpaling dengan kondisi
yang terjadi padanya saat ini, “Aku benar-benar membencinya saat ini,” begitu
bisiknya padaku. Aku hanya diam dan tak pernah melarangnnya, aku juga tak
terlalu risau ketika dia (hatiku) mengklimaks, mencapai puncak meluakkan
kebenciannya, aku hanya menawarinya dengan legukan dan helaan nafas panjang dan
dalam.
Ada
apa dengan hatiku?, bukankah ia sempat begitu memujanya, bahkan ia sempat berkata,
“Dia begitu sempurna, tak ada duanya,” tapi saat ini malah sebalkinya, ia
begitu membencinya, ruang rindu dan sayang tak ada lagi di dalamnnya. Ruangan itu
kini kosong tak terisi dan mengkarat. Beku serupa salju. Apalagi setelah tahu, orang
yang pernah disayanginya sudah pindah ke lain hati. Kadang aku tak kuasa
membendung kemarahannya, aku juga tak punya cukup tenaga untuk menghadangnya. Sekali
lagi, aku hanya diam tak terlalu merisaukannya. Aku hanya berdoa padanya, agar
semua ini lekas berakhir, sebab aku kasihan dan iba melihat hatiku. Aku berharap,
suatu saat ada sosok lain yang mampu membukakan dan mengobati luka yang
menganga itu. Aku khawatir hatiku tak lagi berwarnah merah.
Hallo, boleh juga neh..!!!!
BalasHapus