Berepa kali telah kuhitung keinginan yang hingga detik ini belum tercapai?
Sudah sekian lama aku menunggu hasrat yang tak pernah terpenuhi. Dan waktu pun berlalu, bergelinding seperti bola salju, memakan hari, waktu, kesempatan serta usiaku. Tapi, keinginan itu belum juga bersua.
Melihat orang tampan, aku pingin tampan. Agar tak kalah saing menjerat perempuan. Bertemu dengan orang kaya, aku pun ingin kaya. Agar aku tak selalu dinista oleh orang berharta. Tatkala aku berjumpa dengan orang pintar, aku juga ingin jadi orang yang jenius. Agar kelak aku bisa diandalkan oleh keluargaku.
Aku terus berpacu dengan waktu, berlomba dengan hari, berlari mengejar “keinginanku”. Aku juga tak jarang berdandan ria, memakai bedak, parfum dan wewangian yang lain. Namun, di depan cermin, hatiku berkata, “Bukan ini yang kuinginkan, tanpan dan cantik bukanlah tujuan akhir, buat apa semua ini, jika hatimu tak merasa damai?, ” sontak bisikan itu menghentikan olesan bedak di tanganku.
Seharusnya kau bangga lahir sebagai manusia biasa, yang tanpa dibilas apa pun. Semestinya kau berterima kasih meski pun hidup apa adanya. Bukankah ibumu menggendongmu sembilan bulan adalah bentuk syukurnya kepada Allah?, coba bayangkan, jika waktu kau lahir lantas ditinggal oleh ibumu, apa yang akan terjadi? Kau tak ubahnya bangkai yang sia-sia. Kenapa kau masih ingin tampan atau cantik?
Ah, aku tertipu oleh keinginanku sendiri.
Sejak otakku mampu merekam fakta-fakta yang terjadi di sekitarku. Sejak itu pula aku punya keiginan merubah nasibku. Nasib yang menurutku begitu miris, menggoreskan luka, meninggalkan guratan pilu yang hingga detik ini takkan aku lupa. Aku Ingin Jadi Orang Kaya. Itulah salah satu dari sekian ribu keinginanku. Rumah gedung beritngkat, Mobil pribadi, motor protolan, uang tak pernah kekurangan. Hehmmm...enaknya...!!!!
Diri ini terus terpacu untuk menjadi borjuis, konglomerat, tuan tanah. Tak kenal waktu, lupa akan segalanya. Lagi-lagi cermin membangunkanku dari mimpi, “Buat apa semua itu?, jika ujung-ujungnya kau halalkan segala cara untuk mendapatkannya?. Lihat orang-orang di sekitarmu, mereka berlomba mengeruk harta, hingga lupa kewajibannya, lupa pada saudaranya, lupa pada tetangganya. Perhatikan rumah megah di samping gubukmu yang reot ini, di dalamnnya penuh dengan kebencian, percikan api neraka keluar di tungku dapurnya. Tak ada kedamaian, tak ada cinta kering akan kasih sayang. Coba kau tengok rumah bertingkat di sebelah kanan gubukmu yang reot ini, adakah diantara penghuninya yang membantumu saat kau butuh, pernahkah dari matanya terpancar sinar tali persaudaraan, semuanya kering, terlelap oleh dunia,” ah, lagi-lagi cermin menghancurkan fatamorganaku.
Aku ingin jadi ilmuan yang mampu mengalahkan kejeniusan Albert Einstein. Aku ingin mengalahkan ibnu Sina dalam ilmu kedokteran. Aku ingin mengalahkan ibn Bahtutah dalam ilmu Geografi dan Astronomi, dalam sastra aku ingin mengalahkan syekh Nizami. Aku juga berhasrat melampaui sangarnya Che Guevara, aku juga ingin mengalahkan Descartes sebagai pelopor Rasionalis.
Hugf......
Begitu banyak keinginanku, padahal aku belum pernah kenal, bertemu dan sezaman dengan mereka. Kalau pun tau, sekedar bertemu melalui beberapa buku yang sempat aku baca, entah beberapa tahun silam.
Kenapa aku tak pernah berfikir menjadi diriku sendiri ya?
Aku - yang kata Ibu puteranya - paling tampan!
Aku, yang tetap bersyukur walau selalu tersudut oleh materi!
Aku, yang selalu berterima kasih kepada Allah atas apa yang dia berikan.
Kemarin malam, tak sengaja aku tatap wajah Ayah tercinta saat terlelap. Mukanya mulai berkeriput dengan guratan letih setelah seharian bekerja.
Ya Allah, kenapa tak ada kesedihan pada damai wajahnya?
Kenapa tak tampak sedikit pun kegelisahan pada wajahnya?
Apakah ini wujud ketegarannya melawan hidup?
Inikah bentuk pasrahnya menjalani dan menjaga takdir darimu Ya Allah....????
Aku ingin jadi diriku Ayah....
Yang kau warisi dengan ketegaranmu menjalani getirnya hidup!!!
Amin....!!!!
Sudah sekian lama aku menunggu hasrat yang tak pernah terpenuhi. Dan waktu pun berlalu, bergelinding seperti bola salju, memakan hari, waktu, kesempatan serta usiaku. Tapi, keinginan itu belum juga bersua.
Melihat orang tampan, aku pingin tampan. Agar tak kalah saing menjerat perempuan. Bertemu dengan orang kaya, aku pun ingin kaya. Agar aku tak selalu dinista oleh orang berharta. Tatkala aku berjumpa dengan orang pintar, aku juga ingin jadi orang yang jenius. Agar kelak aku bisa diandalkan oleh keluargaku.
Aku terus berpacu dengan waktu, berlomba dengan hari, berlari mengejar “keinginanku”. Aku juga tak jarang berdandan ria, memakai bedak, parfum dan wewangian yang lain. Namun, di depan cermin, hatiku berkata, “Bukan ini yang kuinginkan, tanpan dan cantik bukanlah tujuan akhir, buat apa semua ini, jika hatimu tak merasa damai?, ” sontak bisikan itu menghentikan olesan bedak di tanganku.
Seharusnya kau bangga lahir sebagai manusia biasa, yang tanpa dibilas apa pun. Semestinya kau berterima kasih meski pun hidup apa adanya. Bukankah ibumu menggendongmu sembilan bulan adalah bentuk syukurnya kepada Allah?, coba bayangkan, jika waktu kau lahir lantas ditinggal oleh ibumu, apa yang akan terjadi? Kau tak ubahnya bangkai yang sia-sia. Kenapa kau masih ingin tampan atau cantik?
Ah, aku tertipu oleh keinginanku sendiri.
Sejak otakku mampu merekam fakta-fakta yang terjadi di sekitarku. Sejak itu pula aku punya keiginan merubah nasibku. Nasib yang menurutku begitu miris, menggoreskan luka, meninggalkan guratan pilu yang hingga detik ini takkan aku lupa. Aku Ingin Jadi Orang Kaya. Itulah salah satu dari sekian ribu keinginanku. Rumah gedung beritngkat, Mobil pribadi, motor protolan, uang tak pernah kekurangan. Hehmmm...enaknya...!!!!
Diri ini terus terpacu untuk menjadi borjuis, konglomerat, tuan tanah. Tak kenal waktu, lupa akan segalanya. Lagi-lagi cermin membangunkanku dari mimpi, “Buat apa semua itu?, jika ujung-ujungnya kau halalkan segala cara untuk mendapatkannya?. Lihat orang-orang di sekitarmu, mereka berlomba mengeruk harta, hingga lupa kewajibannya, lupa pada saudaranya, lupa pada tetangganya. Perhatikan rumah megah di samping gubukmu yang reot ini, di dalamnnya penuh dengan kebencian, percikan api neraka keluar di tungku dapurnya. Tak ada kedamaian, tak ada cinta kering akan kasih sayang. Coba kau tengok rumah bertingkat di sebelah kanan gubukmu yang reot ini, adakah diantara penghuninya yang membantumu saat kau butuh, pernahkah dari matanya terpancar sinar tali persaudaraan, semuanya kering, terlelap oleh dunia,” ah, lagi-lagi cermin menghancurkan fatamorganaku.
Aku ingin jadi ilmuan yang mampu mengalahkan kejeniusan Albert Einstein. Aku ingin mengalahkan ibnu Sina dalam ilmu kedokteran. Aku ingin mengalahkan ibn Bahtutah dalam ilmu Geografi dan Astronomi, dalam sastra aku ingin mengalahkan syekh Nizami. Aku juga berhasrat melampaui sangarnya Che Guevara, aku juga ingin mengalahkan Descartes sebagai pelopor Rasionalis.
Hugf......
Begitu banyak keinginanku, padahal aku belum pernah kenal, bertemu dan sezaman dengan mereka. Kalau pun tau, sekedar bertemu melalui beberapa buku yang sempat aku baca, entah beberapa tahun silam.
Kenapa aku tak pernah berfikir menjadi diriku sendiri ya?
Aku - yang kata Ibu puteranya - paling tampan!
Aku, yang tetap bersyukur walau selalu tersudut oleh materi!
Aku, yang selalu berterima kasih kepada Allah atas apa yang dia berikan.
Kemarin malam, tak sengaja aku tatap wajah Ayah tercinta saat terlelap. Mukanya mulai berkeriput dengan guratan letih setelah seharian bekerja.
Ya Allah, kenapa tak ada kesedihan pada damai wajahnya?
Kenapa tak tampak sedikit pun kegelisahan pada wajahnya?
Apakah ini wujud ketegarannya melawan hidup?
Inikah bentuk pasrahnya menjalani dan menjaga takdir darimu Ya Allah....????
Aku ingin jadi diriku Ayah....
Yang kau warisi dengan ketegaranmu menjalani getirnya hidup!!!
Amin....!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar