Mengusir rasa sepi dengan mencoba mengutak-atik kembali kenangan-kenangan yang pernah datang dan kemudian pergi. Secara sederhana –jika menimbang dan diukur dengan waktu – memang tak ada gunanya, dan buang-buang waktu saja. Tapi, aku yakin dengan memelihara kenangan inilah aku bisa bertahan dan melanjutkan sisa hidup.
Pernah ada kehendak untuk mengubur semua lembar kisah yang telah terlewati, bahkan ada keinginan untuk menghilangkan semuanya. Tapi, aku rasa apalagi yang aku punya dan miliki selain kenangan demi kenangan ini, meski pun manis atau sakit, kisah itu adalah milikku dan hanya aku yang berhak memilikinya. “Aku pernah bermimpi menjalani hidup dan bahagia dengan cinta” Cinta, – mudah-mudahan aku tetap memilikinya – aku baru sadar dan paham bahwa tak mudah untuk menafsirkan makhluk yang satu ini.
Kadang ia begitu manis, menghapus dahaga bagi mereka yang kehausan. Dan tak jarang juga membuat mati rasa bagi mereka yang ditinggalkannya.
Aku sendiri tak tahu harus dikatagorikan apa dengan kondisiku sekarang?, mati rasakah, bahagiakah, menderitakah, ah entahlah, aku sendiri tak berani memaknai keadaanku saat ini. Yang jelas dan pastinya cinta telah jauh pergi meninggalkanku.
“Dengan cinta kita bisa mengubah hidup, dengan cinta pula hidup menjadi tak bermakna.” Mungkin saja kata-kata di atas jauh dari benar, dan bahkan malah menjauhkan dari makna cinta yang sebenarnya.
Tapi, secara pribadi aku memahami dan menafsirkan makna cinta seperti itu, itu pun sejauh pengalaman yang pernah aku lalui dan jalani. Yah, dengan cinta aku pernah menggantungkan cita dan cinta setinggi bintang di langit, aku juga sempat berani bermimpi melampaui kenyataan yang sebenarnya berada di depanku. Selain itu, dengan cinta pula aku sempat membingkai harapan untuk menghabiskan sisa hidupku, “Cinta, sampaikan aku pada titik puncak kebahagaiaan,” mungkin itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan warna hatiku saat itu. Cinta, cinta dan cinta, aku benar-benar terbuai.
“Dengan cinta pula aku seperti mati rasa”. Bisa jadi salahku adalah karena tak pernah berusaha memahami eksistensi makna cinta, sehingga dia benar-benar meninggalkanku, jauh pergi tanpa meninggalkan jejak. Atau mungkin karena baginya aku masih belum mampu mengamban amanahnya, sehingga ia mengambilnya kembali. “Aku benar-benar mati rasa,” Mengapa aku harus mati rasa????, bukankah cinta membahagiakan, mengubah hidup lebih berwarna, mampu menyulap apapun menjadi sangat berarti, sederhananya dengan cinta hidup lebih hidup. Ups, tunggu dulu. Jauh sebelum mengenal cinta, aku lebih dulu mengenal penderitaannya.
Bagaimana tidak, untuk mendapatkan dan diakui sebagai sang pecinta saja aku harus menggadaikan perasaanku, mengorbankan waktuku untuknya, berlama-lama dan berteman dengan kesedihan. Lantas, apakah aku mnyesal???, yang pasti tidak. Sebab bagiku apa yang telah aku lakukan sebagai bentuk pengabdianku pada cinta itu sendiri, sebagai manifestasi dari penghormatanku pada cinta.
Tapi, apakah cinta harus dilalui dengan cara seperti itu dulu??, menderita, berduka dan lain-lain???. Ada banyak jalan yang bisa dilalui, termasuk melewati pointu itu.
“Menderitalah terlebih dahulu, setelah itu kau akan merengkuh kebahagiaan,” kata salah satu tokoh filosof. Dan aku telah melewati pintu itu sebelum mengenal cinta. “Cinta, dimanakah kau kini???” Cinta kau pernah hadir ditengah-tengah kehidupan kami (aku dan dia), Kau perkanlakan kami pada suka, duka dan indahnya perbedaan. Kau juga taukan hati kami untuk menjalani hidup Kau ajari kami tentang kesempurnaan dan kekurangan Kau tuntun kami pada Ilahi Dan kau antarkan kami pada puncak kebahagiaan….
Namun, kini kau t’lah pergi… Meninggalkan jejak luka pada hati kami… Meninggalkan sepenggal kisah pada lembaran hari-hari kami…. Meninggalkan isak air mata pada detik-detik sisa hidup kami…. Kini kau telah pergi, meninggalkan bekas di hati…. Ada apa dengan dia cinta, kenapa dia tiba-tiba pergi meninggalkanku, tanpa memberikan kesempatan padaku untuk mengetahui alasan atas kepergiannya.
Begitu terburu-buru. Padahal aku punya sesuatu utnuknya. Apakah ada orang yang memintanya untuk meninggalkanku?, apakah ada yang mempengaruhinya supaya pergi dariku?, benarkah dia tak lagi nyaman denganku?. Ah, sederet pertanyaan itu lagi-lagi muncul dalam benakku.
Padahal pada perinsipnya dia sebenarnya tahu betapa rapuhnya aku. Tanpanya apalah arti hari-hariku, takkan lagi berarti cita dan harapan, takkan berguna lagi apa yang aku capai, selain hanya kehampaan. Tapi cinta, jika mengingat kembali pada apa yang pernah terjadi aku seperti tak percaya.
Dirinya begitu bersikeras untuk melepas dirimu dariku, ia begitu ngotot meninggalkan beranjak pergi dariku. Kala itu, aku tak bisa berbuat apa-apa, pun untuk sekedar menahan keinginannya. Selain hanya pasrah dan berdoa semoga tabah jiwaku. Tapi ia tetap saja pergi meninggalkan kau dan aku.
Cinta, saat itu pula aku sudah menyimpuli bahwa dia lupa akan diriku, dia tak mengenal siapa diriku lagi. Yang ada dalam benaknya segera pergi meninggalkanku dengan raut kemarahan dan kebencian padaku.
Cinta, yang lebih menyedihkan dan membuatku tak percaya adalah tuduhannya terhadapku tentang apa yang sebenarnya tak pernah aku lakukan. Hingga kini semunya tetap terasa samar, tak jelas penyebab dari semunya, tiba-tiba pergi, hilang dan lenyap tak kembali. Cinta, kemarin aku bertemu dengannya, tapi tetap saja wajahnya beku, seakan menahan amarah dan kebencian padaku.
"Pada sepi yang tiba…..
Keyakinanku yang rapuh Kuusik sendiri...
Wajahmu tak tahu berjanji
Dalam sinar baur kabur Dan bunyi seretan sandal
Kusumpahi engkau Yang terus membuntutiku
Membuntukan seluruh perjalananku..."
"Kematian adalah tantangan,
Kematian mempertegas kita untuk tidak melupakan waktu,
Kematian memberi tahu kita untuk saling mengatakan saat ini juga bahwa....
kita saling mencintai..."
Kenangan-kenangan, terkadang aku benci dengannya, lakunya hanya meninggalkan luka dan air mata, toh terkadang juga menyisakan senyum tapi tetap saja aku merasa keberatan. Pernah suatu ketika, aku berusaha meninggalakan kenangan-kenanganku. Dengan cara beranjak pergi jauh menghilang darinya, berharap akan lupa tentang segalanya – termasuk lembar demi lembar kisahku dengannya -,.
Gila memang, dengan berbekal nekat dan sakit hati, aku menyebrangi pulau jawa. Tujuanku jelas - Jl. Simpang Lima Blok D 16 Sumatera Barat – rumah Pak De Yusuf (Kaka ke III dari ayahku), tanpa ada yang tahu, diam-diam aku berangkat ke sana. Yah, aku benar-benar anak durhaka, telah membuat keluargaku kalang kabut mencariku.
Tapi bagiku saat itu kedamaian dalam jiwaku yang utama, mungkin saja, dengan menjauh dari dimana kenangan itu bermula aku bisa mendapatkan ketenangan hati dan membuka lembaran hidup yang baru. Tapi dasar hati yang tak mau diajak berdamai, dia seperti hantu, kemana aku pergi s’lalu saja menguntit. Yang lebih gila dan nekat, aku pernah mencoba menghabisi nyawaku sendiri, dengan harap kenangan itu ikut keluar bersama darah yang tercecer melalui urat nadi tanganku, bahkan dua kali aku mencobanya.
Pertama di Pesantrenku tapi digagalkan oleh salah satu sahabat karibku dan yang kedua di rumahku, sayangnya ayah keburu menyadarkaknku dengan tamparan keras mendarat tepat di pipiku.
Hemmm….Allah benar-benar menyayangiku meski dengan cara yang pahit dan getir, “Seharusnya kau lebih tegar dengan cobaan ini, tak kasihankah kau pada ayah dan ibu???, apakah kau lupa pada cita-citamu, yang penting bukan dirimu yang mengakhiri kisahmu, seharusnya kau bahagia dengan apa yang telah ia lakukan padamu,” cercah ayah sambil memelukku erat.
Rumah baruku….
Harapan seluruh keluargaku….
Kini kau telah ternodai oleh darah kotorku
Pernah ada kehendak untuk mengubur semua lembar kisah yang telah terlewati, bahkan ada keinginan untuk menghilangkan semuanya. Tapi, aku rasa apalagi yang aku punya dan miliki selain kenangan demi kenangan ini, meski pun manis atau sakit, kisah itu adalah milikku dan hanya aku yang berhak memilikinya. “Aku pernah bermimpi menjalani hidup dan bahagia dengan cinta” Cinta, – mudah-mudahan aku tetap memilikinya – aku baru sadar dan paham bahwa tak mudah untuk menafsirkan makhluk yang satu ini.
Kadang ia begitu manis, menghapus dahaga bagi mereka yang kehausan. Dan tak jarang juga membuat mati rasa bagi mereka yang ditinggalkannya.
Aku sendiri tak tahu harus dikatagorikan apa dengan kondisiku sekarang?, mati rasakah, bahagiakah, menderitakah, ah entahlah, aku sendiri tak berani memaknai keadaanku saat ini. Yang jelas dan pastinya cinta telah jauh pergi meninggalkanku.
“Dengan cinta kita bisa mengubah hidup, dengan cinta pula hidup menjadi tak bermakna.” Mungkin saja kata-kata di atas jauh dari benar, dan bahkan malah menjauhkan dari makna cinta yang sebenarnya.
Tapi, secara pribadi aku memahami dan menafsirkan makna cinta seperti itu, itu pun sejauh pengalaman yang pernah aku lalui dan jalani. Yah, dengan cinta aku pernah menggantungkan cita dan cinta setinggi bintang di langit, aku juga sempat berani bermimpi melampaui kenyataan yang sebenarnya berada di depanku. Selain itu, dengan cinta pula aku sempat membingkai harapan untuk menghabiskan sisa hidupku, “Cinta, sampaikan aku pada titik puncak kebahagaiaan,” mungkin itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan warna hatiku saat itu. Cinta, cinta dan cinta, aku benar-benar terbuai.
“Dengan cinta pula aku seperti mati rasa”. Bisa jadi salahku adalah karena tak pernah berusaha memahami eksistensi makna cinta, sehingga dia benar-benar meninggalkanku, jauh pergi tanpa meninggalkan jejak. Atau mungkin karena baginya aku masih belum mampu mengamban amanahnya, sehingga ia mengambilnya kembali. “Aku benar-benar mati rasa,” Mengapa aku harus mati rasa????, bukankah cinta membahagiakan, mengubah hidup lebih berwarna, mampu menyulap apapun menjadi sangat berarti, sederhananya dengan cinta hidup lebih hidup. Ups, tunggu dulu. Jauh sebelum mengenal cinta, aku lebih dulu mengenal penderitaannya.
Bagaimana tidak, untuk mendapatkan dan diakui sebagai sang pecinta saja aku harus menggadaikan perasaanku, mengorbankan waktuku untuknya, berlama-lama dan berteman dengan kesedihan. Lantas, apakah aku mnyesal???, yang pasti tidak. Sebab bagiku apa yang telah aku lakukan sebagai bentuk pengabdianku pada cinta itu sendiri, sebagai manifestasi dari penghormatanku pada cinta.
Tapi, apakah cinta harus dilalui dengan cara seperti itu dulu??, menderita, berduka dan lain-lain???. Ada banyak jalan yang bisa dilalui, termasuk melewati pointu itu.
“Menderitalah terlebih dahulu, setelah itu kau akan merengkuh kebahagiaan,” kata salah satu tokoh filosof. Dan aku telah melewati pintu itu sebelum mengenal cinta. “Cinta, dimanakah kau kini???” Cinta kau pernah hadir ditengah-tengah kehidupan kami (aku dan dia), Kau perkanlakan kami pada suka, duka dan indahnya perbedaan. Kau juga taukan hati kami untuk menjalani hidup Kau ajari kami tentang kesempurnaan dan kekurangan Kau tuntun kami pada Ilahi Dan kau antarkan kami pada puncak kebahagiaan….
Namun, kini kau t’lah pergi… Meninggalkan jejak luka pada hati kami… Meninggalkan sepenggal kisah pada lembaran hari-hari kami…. Meninggalkan isak air mata pada detik-detik sisa hidup kami…. Kini kau telah pergi, meninggalkan bekas di hati…. Ada apa dengan dia cinta, kenapa dia tiba-tiba pergi meninggalkanku, tanpa memberikan kesempatan padaku untuk mengetahui alasan atas kepergiannya.
Begitu terburu-buru. Padahal aku punya sesuatu utnuknya. Apakah ada orang yang memintanya untuk meninggalkanku?, apakah ada yang mempengaruhinya supaya pergi dariku?, benarkah dia tak lagi nyaman denganku?. Ah, sederet pertanyaan itu lagi-lagi muncul dalam benakku.
Padahal pada perinsipnya dia sebenarnya tahu betapa rapuhnya aku. Tanpanya apalah arti hari-hariku, takkan lagi berarti cita dan harapan, takkan berguna lagi apa yang aku capai, selain hanya kehampaan. Tapi cinta, jika mengingat kembali pada apa yang pernah terjadi aku seperti tak percaya.
Dirinya begitu bersikeras untuk melepas dirimu dariku, ia begitu ngotot meninggalkan beranjak pergi dariku. Kala itu, aku tak bisa berbuat apa-apa, pun untuk sekedar menahan keinginannya. Selain hanya pasrah dan berdoa semoga tabah jiwaku. Tapi ia tetap saja pergi meninggalkan kau dan aku.
Cinta, saat itu pula aku sudah menyimpuli bahwa dia lupa akan diriku, dia tak mengenal siapa diriku lagi. Yang ada dalam benaknya segera pergi meninggalkanku dengan raut kemarahan dan kebencian padaku.
Cinta, yang lebih menyedihkan dan membuatku tak percaya adalah tuduhannya terhadapku tentang apa yang sebenarnya tak pernah aku lakukan. Hingga kini semunya tetap terasa samar, tak jelas penyebab dari semunya, tiba-tiba pergi, hilang dan lenyap tak kembali. Cinta, kemarin aku bertemu dengannya, tapi tetap saja wajahnya beku, seakan menahan amarah dan kebencian padaku.
"Pada sepi yang tiba…..
Keyakinanku yang rapuh Kuusik sendiri...
Wajahmu tak tahu berjanji
Dalam sinar baur kabur Dan bunyi seretan sandal
Kusumpahi engkau Yang terus membuntutiku
Membuntukan seluruh perjalananku..."
"Kematian adalah tantangan,
Kematian mempertegas kita untuk tidak melupakan waktu,
Kematian memberi tahu kita untuk saling mengatakan saat ini juga bahwa....
kita saling mencintai..."
Kenangan-kenangan, terkadang aku benci dengannya, lakunya hanya meninggalkan luka dan air mata, toh terkadang juga menyisakan senyum tapi tetap saja aku merasa keberatan. Pernah suatu ketika, aku berusaha meninggalakan kenangan-kenanganku. Dengan cara beranjak pergi jauh menghilang darinya, berharap akan lupa tentang segalanya – termasuk lembar demi lembar kisahku dengannya -,.
Gila memang, dengan berbekal nekat dan sakit hati, aku menyebrangi pulau jawa. Tujuanku jelas - Jl. Simpang Lima Blok D 16 Sumatera Barat – rumah Pak De Yusuf (Kaka ke III dari ayahku), tanpa ada yang tahu, diam-diam aku berangkat ke sana. Yah, aku benar-benar anak durhaka, telah membuat keluargaku kalang kabut mencariku.
Tapi bagiku saat itu kedamaian dalam jiwaku yang utama, mungkin saja, dengan menjauh dari dimana kenangan itu bermula aku bisa mendapatkan ketenangan hati dan membuka lembaran hidup yang baru. Tapi dasar hati yang tak mau diajak berdamai, dia seperti hantu, kemana aku pergi s’lalu saja menguntit. Yang lebih gila dan nekat, aku pernah mencoba menghabisi nyawaku sendiri, dengan harap kenangan itu ikut keluar bersama darah yang tercecer melalui urat nadi tanganku, bahkan dua kali aku mencobanya.
Pertama di Pesantrenku tapi digagalkan oleh salah satu sahabat karibku dan yang kedua di rumahku, sayangnya ayah keburu menyadarkaknku dengan tamparan keras mendarat tepat di pipiku.
Hemmm….Allah benar-benar menyayangiku meski dengan cara yang pahit dan getir, “Seharusnya kau lebih tegar dengan cobaan ini, tak kasihankah kau pada ayah dan ibu???, apakah kau lupa pada cita-citamu, yang penting bukan dirimu yang mengakhiri kisahmu, seharusnya kau bahagia dengan apa yang telah ia lakukan padamu,” cercah ayah sambil memelukku erat.
Rumah baruku….
Harapan seluruh keluargaku….
Kini kau telah ternodai oleh darah kotorku
Bandilan 15/05/2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar