Aku kembali lagi disini, perempuanku.
Pada tempat dimana semua kenangan itu pernah
berasal.
Juga ketika kehilangan itu berawal.
Ada lanskap kesunyian bertahta merajam langit,
saat jejak kakiku ragu terpacak. Dan kesenyapan itu kembali mengiris-ngiris
hati saat menyadari kita tak melaluinya lagi bersama, seperti dulu.
Aku masih merasakan wangi kibasan rambutmu usai
keramas menyapa hidungku begitu dekat. Aku ingat, ketika itu, kau tersipu malu
saat kukatakan dengan spontan dalam degup jantung menderu, dua helai rambutmu
yang basah dan jatuh menimpa kening putihmu membuatmu bertambah cantik.
Aku sudah lama berdamai dengan kesendirian.
Berlayar di samudera kesedihan serta merasakan angin buritan menampar wajahku
yang sedapat mungkin mencari-cari dermaga dari balik kabut, dimana kau
menungguku disana dengan segunung cemas dan rindu membuncah.
Tapi semuanya sia-sia.
Seperti rasa putus asa yang menggayutiku
sepanjang musim. Seperti kecewa yang luruh satu-satu bagai daun yang layu
meranggas. Seperti sajak-sajak pilu yang kutulis dengan derai airmata lalu
kukirim padamu bersama lampiran sepotong asa, lewat angin malam yang berdesir
lembut dari jendela kamarku.
Aku memang sedikit tersesat, gamang dan mengalami
disorientasi lokasi ketika tiba lagi disini.
Menelisik kembali ruang-ruang rindu yang pernah
kita lalui dulu, memang tak mudah, terlebih dengan hati patah. Dan aku berusaha
menghadirkan sosokmu kembali , saat kita pernah menikmati senja dibalut rintik
gerimis serta selarik pelangi menghias digaris batas cakrawala. Aku mengenang,
pandanganmu tak pernah sekalipun lepas dari pemandangan indah itu.
Dan kata-katamu seketika menyentakkanku dari
segala impian indah tentangmu.
"Aku akan pergi. Meninggalkanmu. Untuk
sebuah alasan yang mungkin tak akan bisa kamu mengerti," katamu dengan
bibir bergetar.
"Kenapa?" tanyaku penasaran.
Kegelisahan menggayuti dadaku.
Kamu tak segera menjawab. Dengan gugup kamu
memilin-milin ujung bajumu sembari menunduk seperti mencari-cari kata terbaik
untuk mengungkapkan.
"Karena kamu telah melakukan sebuah
kesalahan besar : Mencintaiku," katamu akhirnya kemudian diikuti tangismu
yang pecah tepat ketika matahari tergelincir mulus ditelan bumi dan menyisakan
jejak-jejak merah saga.
Aku terkejut. Jawaban seperti apa ini?.
"Apa Maksudmu? Kenapa kamu tidak melakukan
ini saja sejak pertama kali aku menyatakan cinta padamu. Setelah semua hal-hal
mengesankan dan indah kita lalui bersama ?" desakku gusar.
Kamu membisu dan menggigit bibirmu. Aku mendesah
kesal.
"Tolong, jangan paksa aku menjawabnya
sekarang. Bila waktunya tiba kamu akan tahu. Tapi bukan sekarang. Tolong antar
aku pulang," katamu sambil menatapku dengan mata penuh luka.
"Ini tidak adil, kamu jelaskan dulu apa
sebabnya," tegasku, masih penasaran.
"Tolong antar aku pulang atau, kalau kamu
tak mau, biarkan aku pulang sendiri saja," tantangmu sengit.
Aku menghela nafas. Mengalah.
Dalam mobil yang kukendarai pulang bersamamu,
kita saling diam. Tak ada kata-kata. Aku sempat menoleh sekilas ke arahmu dan
kulihat bulir-bulir air mata mengalir deras melalui tebing pipimu. Pandanganmu
menatap lurus, hampa kedepan. Aku tak akan mengganggumu meski segudang tanya
merajai benakku saat itu.
"Terimakasih atas segala kebersamaan yang
indah yang pernah kita lalui. Maafkan bila harus berakhir begini. Semoga kita
berdua baik-baik saja setelahnya. Selamat tinggal," katamu lirih saat
kuantar hingga ke gerbang rumah. Matamu seperti tak kuasa menatap mataku.
Tak lama kemudian kamu bergegas lari menuju rumah
dan tak pernah berpaling lagi menolehku ke belakang .
Aku masih berdiri terpaku di gerbang depan
rumahmu selama beberapa saat dan tak percaya, perpisahan ini terjadi begitu
cepat. Dahsyat. Juga menyakitkan.
Saat berjalan gontai menuju mobil, nada SMS
berbunyi dari handphone.
Dari kamu.
Kita mesti berpisah. Sampai suatu saat ketika
kita benar-benar memahami makna terdalam dari cinta itu sendiri. Aku
mencintaimu, jauh melebihi cintamu padaku.
SMS itu berulang kali kubaca dengan hati masygul.
Sebuah perpisahan yang tragis.
Aku berusaha terus mencari jawaban darimu tentang
ini termasuk menghubungimu dan mencarimu, tapi sia-sia. Kamu pergi. Benar-benar
pergi. Entah kemana.
Tanpa menyisakan jejak sedikitpun buatku.
***
Aku kembali lagi disini, perempuanku.
Pada tempat dimana semua kenangan itu pernah
berasal.
Juga ketika kehilangan itu berawal.
Mungkin terlambat ketika aku menyadari makna
cinta yang ingin kamu dan aku pahami, sejak terakhir kali kita ketemu.
Termasuk terlambat pula untuk tahu bahwa dirimu
menyimpan luka perpisahan kita begitu dalam, ketika kemudian ajal menjemputmu
karena penyakit Leukemia yang kamu derita. Tanpa aku disismu.
Tapi di sini, di pusaramu, dimana kau terbaring
tenang disana, lirih kubisikkan kalimat, "Aku sudah mendapatkan jawaban
atas makna cinta terdalam yang kamu pertanyakan itu. Bahwa cinta adalah
jawaban. Bukan pertanyaan. Kita akan menjadi mengerti jika terus menikmatinya
sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kita. Sayangnya, aku dan kamu tidak
terlibat bahkan menikmati sedikitpun proses mencari jawaban itu".
Bunga kamboja didekat pusaramu bergoyang pelan.
Aku menghela nafas panjang. Tenggorokanku seperti tercekat dibekap keharuan.
"Dan disini perempuanku, waktu tidak pernah
benar-benar beranjak pergi. Ia berhenti. Pada kedalaman hati, mengendap bersama
kenangan. Di ruang rindu.."
Bondowoso, 15/05/11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar