Aku merasa miris mendegar barang elektronik yang tengah booming ini, bukan karena tak bisa mengoprasikan. Lebih daripada itu setiap hari kerap aku melihatnya, dan tak jarang pula menggunakannya, meski sekedar nebeng pada teman yang lagi beruntung mempunyai LAPTOP.
Lalu, apa penyebab dari kemirisan, kegundahan terkadang juga rasa mangkel hatiku ini?, inilah kronologis dari tragedi paling mengenaskan dalam sejarah hidupku….!!!!
Sekitar tahun lalu – aku tak begitu sempat mengingat jam, hari dan bulan kejadiaanya, memang sengaja tak ingin mengingat kejadian pagi itu – waktu itu aku tengah menjalani tugas magang profesiku di salah satu surat kabar harian milik Jawa Pos Grup (Radar Surabaya), sebulan lamanya aku harus keliaran menyusuri pekat kota Surabaya sebagai pencari berita alias wartawan. Nah, untuk memperlancar kinerja sebagai kuli tinta (wartawan, red), aku sengaja meminjam Laptop adik kelas yang kebetulan satu pondok di Probolinggo dulu, satu jurusan di fakultasku. Ifa begitu ia dipanggil, aku sendiri sampai sekarang tak tahu siapa nama lengkapnya, yang jelas barang mahal itu saban hari bersamaku, menemaniku mencari berita, Alhamdulillah…..
“Laptonya dek Ifa udah aku beli, tapi bayarnya nyicil,” kata ........ - titik-titik ini sebagai ganti dari nama anak adam tersebut, cukup aku dan hati saja yang tahu, sengaja tak kutuliskan namanya, ada delapan titik, diawali huruf Kapital Z dan disudahi huruf H itu saja.
Aku hanya diam saja waktu itu, pikiranku menjalar coba mencari tahu atas dasar apa Laptop Compaq CQ 40 warna hitam harus dibelinya, nyicil pula. Apa dia (titik Sembilan, red), sudah tergiur dengan barang mahal itu, atau hanya sekedar ikut trend saja, bisa juga untuk membantu tugas kuliahnya?, ah, entahlah yang jelas aku ikut senang.
07.00 WIB hari Jumat pagi, bersamanya menjalankan tugas dari kantor (Radar Surabaya, red) mencari berita, kebetulan hari itu tugasnya ngeliput acara pagelaran musik solo di Gramedia Ekspo Surabaya. Sekitar Pukul 10:00 WIB kita keluar dari gedung megah itu, kemudian Motor Supra X 125 meluncur membawa kami ke Taman Bungkul, di tempat yang sebenarnya makam keramat itu untuk pertama kalinya aku melihat senyum indah mengembang dari bibir Titik Sembilan. Ah, kau begitu elok, tak sanggup rasanya mata ini memandang rona bahagia yang terpancar dari wajah ovalnya. Seketika kulempar tatapanku, kualihkan perhatianku dengan menyeruput es dengan yang mulai mendingin.
17:00 WIB, bersamanya meluncur ke lantai IV Graha Pena, kantor redaksi Radar Surabaya, wajah-wajah serius di depan layar Komputer sudah menjadi pemandangan yang taka asing lagi buatku, maklumlah wartawan pada jam segitu sudah harus menuntaskan dan nyetor beritanya, jika melenceng dari deadline siap-siap kenak damprat oleh sang redaktur. Tanpa mengganggu keseriusan mereka kita langsung menuju meja usang milik redaktur kami.
“Gimana, lancar liputannya,” sapa redaktur kami mengawali perbincangan.
“Lancar,” jawabku.
“Alhamdulilah,” sahut Titik Sembilan, menyambung ucapanku.
Setelah diedit sedemikian rupa, akhirnya tugas kami hari itu kelar juga, dan kami pun siap-siap kembal ke rumah masing-masing.
“Oh iya, tugas lipuatan besok sudah aku persipakan buat kalian, (Aku dan Titik Sembilan, red)” kata Redaktur, dengan mengarahkan telunjuknya kearah kami.
“Liputan apa pak,” tanyaku.
“Nah, di daerah karang manjangan ada komunitas bernama LGBTiQ, ini nomor yang bisa kalian hubungi,” terang laki-laki alumnus Unej ini pada kami, sambil memberikan nomor telephone nara sumber yang bisa kami hunbungi.
“Oke pak,” jawabku yakin.
“Suskes ya,” ucap redaktur penyuka batik ini, sekaligus mengakhiri perbincangan.
Kami pun berlalu. Menapaki Surabaya beranjak malam, lalu lalang beragam kendaraan di Jl. A.Yani, terdengar bising namum terlihat indah, lampu di pinggiran jalan berjejer rapi, warna-warni bak pelangi membuntuti langkahku.
Aku harus segera sampai ketempatku, lelah mulai terasa setelah seharian berburu berita. Mata pun tak bisa lagi diajak kompromi, walau jalanku tak seperti orang mabuk rasa ngantuk mulai mengganggu konsentrasi jalanku.
“Setelah ini aku langsung tidur,” gumamku lirih.
“Assalamualaikum,” sapaku sambil membuka dau pintu kamar.
“Waalaikumsalam,” jawab teman-teman seraya berkoor.
Ternyata malam itu sedikit berbeda dengan malam-malam biasanya, terlihat ramai oleh kehadiran sahabat/i ku, kira-kira sekitar tujuh orang yang memadati tempatku. Tapi, malam itu aku tak begitu menghiraukan mereka, sebab rasa kantukku sudah mencapai stadium empat, aroma bantal sudah teredus oleh penciumanku.
Tanpa ganti baju – memang jarang sih gonta-ganti baju – aku langsung mencari mahluk bernama bantal, secepat kilat mataku mengawasi setiap sudut ruangan kamarku, mecari dimana gerangan bantal bersembunyi. Dan akhirnya makhluk yang kucari segera kutemukan, meski pun terliahat kumal dan lusuh, penuh gambar peta hasil kreatifitas air liur sahabt-sahabatku aku tak peduli, yang penting aku bisa memejamkan mata. Malam itu, bantal yang menyerupai Globe itu benar-benar membantuku tuk sampai pada alam mimpi.
Siapa sangka, hasratku untuk segera terbang ke alam mimpi terusik oleh Laptop yang sudah berganti pemilik, dari si Ifa ke Titik Sembilan. Aku baru sadar ternyata dialog dalam diriku belum tuntas juga tentang Compaq CQ40.
“Apa yang membuat Titik Sembilan harus mengambil alih kepemilikan barang ini?, apa istimewanya barang 17 inchi ini?, toh meski pun tanpa dibeli benda ajaib tesebut akan tetap bisa ia gunakan sehari-hari, kapanpun dan dimana pun. Atau dia memang sengaja membelinya agar tak merasa sungkan kala memakainya, mungkin ia, ” dialog yang sebenarnya tak perlu terjadi padaku. Butuh seperempat jam untuk sekedar mengamati Laptop barunya Titik Sembilan.
Dan, aku mendapati debu menempel di beberapa bagian body Compaq CQ40, mulai dari Kyboard, layar dan Speaker. Juga goresan kecil di beberapa bagian Body nya. Maklum, meski pun baru beli, Compaq CQ40 nya sudah terpakai sekitar enam bulanan oleh pemilik pertama alias beli bekas, tapi bukan BABEBO (Bekas Baju Bos) lho...!!!!
Aku merasa tak enak dengan pemandangan itu, meski bukan milik pribadi, aku tetap harus merawatnya. Tanpa panjang lebar, aku langsung mengambil tissu basah yang tersimpan rapi di tas. Sengaja kusediakan tissu basah untuk sekedar membersihkan debu yang menempel di Compaq CQ40, dan itu aku lakukan sejak pertama kali memakainya. Selain hemat, juga tak terlalu banyak merogoh kocek, gampang pula untuk mendapatkannya.
Beberapa sapuan tissu basah ke body Compaq CQ40 sudah menampakkan hasilnya, body dan bagian yang lain sudah terlihat mengkilat seperti baru lagi. Aku terus meyapunya ke beberapa bagian, sampai tak terlihat lagi debu-debu nakal yang mengotori Compaq CQ40.
“Hem, sudah bersih kau kawan!,” ucapku pada benda mati itu (Compaq CQ40, red), waktunya kau istirahat.
Sebelum kumasukkan ke ransel khusus penyimpanan Compaq CQ40, aku memencet tombol power, beberapa detik kemudian di layar Compaq CQ40 tertulis “LOADING” kemudian muncul lagi tulisan “Welcome to Windows Vista Starter” seperti menyapaku saja, mencoba mengakrabiku.
Setelah itu, pada benda kecil seukuran tikus dewasa – dalam istilah bahasa komputer disebut MOUSE – ku klik kanan, kemudian muncul beberapa tulisan dan kupilih eksplorer, muncullah beberapa folder dan kuklik folder “Effendie Nitip”, setelah kuamati sejenak ternyata ada file video Detik-detik lengsernya almarhum K.H Abdurrahman Wahid dari jabatannya sebagai presiden RI ke IV. Seingatku moment itu terbingkai dalam program acara Kick Endy dibawah kendali Andy F Noya, dan aku pun tertarik untuk melihatnya.
Dengan posisi terlentang aku nonton video tersebut. Sekitar lima menit berlalu, beberapa sahabatku juga ikut nimbrung nonton. Mungkin mereka juga ingin tahu peristiwa bersejarah itu. Setengah jam kemudian, acara nonton bareng itu terus berlanjut sementara mataku mulai memicing, rasa kantuk kembali menggelayuti kelopak mataku, aku pun menyerah dan memutuskan untuk tidur. Tetapi sebelum kesadaranku hilang total, aku berpesan pada sahabat-sahabat yang ada di situ, “Nanti kalau mau tidur tolong pintunya di tutup ya!,” begitulah kira-kira pesanku pada mereka malam itu. Setelah berucap, perlahan kesadaranku mulai berkurang, mataku segera menyipit pelan, nafasku berhembus teratur dan aku tertidur pulas.
Astagfirullah, aku tersentak mataku menelanjangi seisi ruangan tempatku, dengan kondisi setengah sadar aku bangkit. Aku kaget mendapati Compaq CQ40 tak ada di tempat semula, meja yang kujadikan alas untuk Compaq CQ40 juga raib. Hugfff....!!!, ternyata benda yang kucari telah pindah tempat, entah siapa yang memindahkannya yang jelas malam itu aku sempat tak punya hati. Setalah kupastikan Compaq CQ40 baik-baik saja, aku kembali ke tempat peraduan, sebelumnya aku berpesan lagi agar pintu dikunci lagi jika mau keluar, kebetulan saat itu juga ada sahabtku yang belum tidur.
06:00 WIB, aku terbangun dan untuk yang kedua kalinya jantungku kembali berdegup kencang, aku dapati Compaq CQ40 sudah tak terlihat lagi keberadaannya, tak hanya itu ketujuh sahabatku juga pada meninggalkan tempatku, dengan meninggalkan pintu sedikit terbuka dan jejak kaki seseorang tanpa alas kaki di atas karpet warna hijau. Aku kelimpungan, aku masih belum percaya benar bahwa Compaq CQ40 hilang, di bawah meja, di dalam lemari yang ada di tempatku juga kuperiksa tapi hasilnya nihil Compaq CQ40 benar-benar hilang.
Secepat kilat aku menghubungi beberapa sahabatku yang bermalam di tempatku, satu persatu aku tanyakan keberadaan terakhir Compaq CQ40. Hasilnya sama dengan jawaban yang sama pula, “Saya tidak tahu cak, waktu kami keluar Compaq CQ40 masih ada, tapi pintunya tidak kami kunci,” begitulah kira-kira jawaban mereka.
Aku terkulai lemas, wajahku tertunduk tak berdaya di pojok kamar. Aku harus bilang apa pada Titik Sembilan, akan kumulai darimana penjelasanku ini, bagaimana rekasinya ketika ia tahu barang yang baru ia beli sehari hilang?, pertanyaan itu kembali menghempaskanku. Nafasku berhembus tak teratur, aku bingung harus berbuat apa.
Bismillah, dengan sisa keberanian ku pencet no Handphone +6285732xxxxxx.......tut..tut..tut...tut.....Ma’af nomor yang anda tuju tidak bisa menjawab panggilan ini. Ah, suara perempuan yang menyebalkan. Kembali ku pencet nomor yang sama, tapi juga tak ada jawaban, untuk ketiga kalinya kutelephone lagi tapi hasilnya nihil Titik Sembilan tetap tak mengangkat Telephoneku.
Usahaku tak berhenti disitu, kucoba menghubungi adik perempuannya,
“Iya Mas ada apa?,” tanya si bungsu.
“Embakmu mana dek? di hubungi kok ndak di angkat-angkat,” tanyaku singkat.
“Oh, embak lagi nyuci di belakang mas, emang ada apa?,” selidik si bungsu.
“Bilang sama embakmu, segera ke Kampus ada perlunya penting banget,” jelasku singkat.
“Iya Mas,” Jawab si Bungsu mengakhiri pembicaraan via telephone di pagi yang menyesakkan itu.
Menunggu kadang mengasikkan dan kadang juga menjemukan, hampir setengah jam aku menuggu kedatangan Titik Sembilan. Sambil merangkai kata aku duduk di atas batu tepat di depan tempatku, sesekali memyumpahi diriku sendiri, “Tolol, bodoh, dasar sembarangan, kenapa tak kau amankan Compaq CQ40 ketika kau terbangun tadi malam,” gumamku mengutuk diri sendiri.
Kemudian, dari kejauhan terdengar sayup-sayup suara motor Supra X 125, aku kenal betul suara itu, seperti halnya dekatku dengan pengendaranya. Ternyata benar, dari arah barat ia mulai tampak, menggunakan helm putih bertuliskan Snopy, dan jaket warna putih tulang yang selalu melindunginya dari panasya matahari dan nakalnya dingin. Aku berdiri, ditopang dengan kaki yang sedikit gemetar, berkeringat dingin dan mulut yang mulai kaku.
“Ada apa, kok kayaknya penting banget,” sapanya dengan senyum khas.
“Kita ngomongnya di dalam saja ya,” kataku sambil membukakan pintu dan memeprsilahkannya masuk.
Ya Allah, beri hamba kekuatan untuk menjelaskan apa yang terjadi pagi ini. Beri hamba kemudahan dalam menghadapi masalah pelik ini. Sambil membetulkan posisi dudukku, mengatur nafas dan aku memulai obrolan yang sebenarnya tak kuinginkan dipagi itu.
“Compaq CQ40mu hilang tadi pagi,” ungkapku tertunduk.
“Jangan guyon po’o,” selorohnya sembari menatapku.
“Aku nggak guyon, beneran Compaq CQ40mu hilang,” jelasku meyakinkan Titik Sembilan.
Beberapa saat kami sama-sama terdiam, entah apa yang ada dibenaknya. Aku sendiri saat itu mencari cara bagaimana cara mengganti Compaq CQ40nya.
“Ya sudah, berarti bukan waktunya aku punya laptop sendiri,” pernyataannya memecahkan kebisuan kami.
Waktu itu aku hanya diam, tak ada sepata kata lagi yang keluar dari mulutku. Yang hadir dalam benakku hanya bagaimana cara mengganti Compaq CQ40nya yang baru ia pakai sehari dan hilang.
Pembicaraan itu kuselesaikan pagi itu juga, sebab kami harus segera bergegas mencari berita yang telah ditentukan oleh redaktur kami semalam. Di atas motor aku diam, sementara Titik Sembilan tetap saja ceria, senyumnnya, cerewetnya, guyonnya tetap saja menghiasi sepanjang perjalanan ke lokasi. Seakan tak ada beban sama sekali.
“Ah, kau ini, tetap saja ceria. Padahal kondisinya lagi genting,” kataku dalam hati.
Atas pertimbangan yang menurutku ini adalah jalan terbaik, malam setelah kejadian aku kumpulakn sahabat/i yang bermalam di tempatku. Maskudku memanggil mereka untuk mengetahui kepastian dan mencari jalan terbaik bagaimana caranya agar barangnnya Titik Sembilan kembali, paling apes meski tak sama-sama Compaq CQ40 minimal ada gantinya, Itu saja.
Singkat cerita, setelah melewati perdebatan sengit antara aku dan sahabat/i tentang siapa yang harus mengganti barangnnya Titik Sembilan, akhirnya kita sepakat tiap orang yang bermalam di tempatku dikenai tanggungan 10%, intinya kita sepakat patungan. Untuk sementara aku bisa bernafas lega, karena kita mau bertanggung jawab.
Sehari, seminggu, sebulan bahkan hingga hari ini tak satu pun dari mereka datang kepadaku untuk memenuhi kesepakatan itu, jagankan menepati bertanya soal Compaq CQ40 saja tidak sama sekali. Sepertinya kesepaktan itu hilang sia-sia, tak ada apa-apa, tak ada angin dan ombak, malam kelabu itu menjadi misteri, lenyap ditelan waktu.
Sementara, Titik Sembilan tetap saja tak mau mempersoalkannya. Disisi lain, dirinya juga harus segera melunasi sisa pembayaran Compaq CQ40. Aku, seperti banci yang tak bisa berbuat apa-apa. Pernah suatu ketika, tanpa sepengetahuanku ia menghubungi salah satu dari ketujuh sahabt/i, dan mempertanyakan sikap dan tindakan kita (Aku dan sahabat/i, red). Tapi hasilnya sama, tak ada apa-apa, nol.
Tidak hanya Aku dan Titik Sembilan yang berusaha mencari tahu tentang keberadaan Compaq CQ40, sebagian sahabatku yang lain juga ikut membantu mencari solusi. Salah satunya, mendatangi orang pintar. Aku mengiyakan semua saran sahabat-sahabatku, tapi aku tak pernah melakukannya, sebab aku punya alasan tersendiri kenapa tak melaksanakan saran dari sahabt-sahabatku itu, aku masih trauma dengan hasil tebakan orang pintar. Pertengahan tahun 2006 keluargaku pernah mengalami musibah – untuk masalah ini kiranya aku tak perlu menceritakan – intinya dari tujuh orang pintar yang aku datangi hasil tebakannya semuanya salah. Itulah alasan yang mendasariku tak percaya lagi pada dukun atau orang pintar.
Kembali lagi pada masalah Compaq CQ40, sekitar tujuh bulan dari kejadian malam kelabu itu. Aku sedang menggunakan Hp Sony Ericson T700nya Titik Sembilan untuk sms ke sahabatku. Sambil menunggu balasan sms dari sahabatku itu, aku membukan beberapa folder Hp berbalut warna merah cerah milik Titik Sembilan. Tak sengaja di folder pesan-draf aku menemukan sms yang belum sempat terkirim, jika tak salah tulisannya seperti ini “Sebenarnya aku pengen banget punya Laptop sendiri,”.
Ya Allah, aku terdiam sempurna kuku. Apakah ini pengakuan yang sebenarnya?, apa ini kepolosannya, apakah ini yang sebenarnya ia inginkan, kapan kata-kata ini ia tulis, kepada siapa sms yang tak sempat terkirim ini ditujukan. Segera kubuang jauh-jauh pikiran itu, setelah menerima balasan sms dari sahabatku, aku langsung mengembalikan Hp kesayangan Titik Sembilan.
Aku terus memeras otak, mencari solusi agar ia segera mendapati laptopnya. Harapaku terhadap ketujuh sahabat/i sudah tak ada lagi. Sehari, dua hari, tiga hari hampir seminggu aku mencari cara untuk mendapatkan uang dan untuk mengganti laptopnya Titik Sembilan. Ditengah kebingunganku itu, muncul sosok ibuku yang mungkin saja bisa membantu masalahku ini.
Kala itu aku tak berani ngomong langsung pada ibu, meski via telephone. Aku mengabari masalahku pada beliau melalui sms. Hanya ini jalan satu-satunya, hatiku mantap dan aku siap jika harus dimarahi oleh ibuku. Setelah merasa siap kubuka buku telephone yang ada di hp ku, lalu kupilih no 01016601245099x yang tak lain no hp ibuku.
Kemudian aku pilih Kirim Pesan:
Aslakum...
Ibu, Sya knak musbh.....
Minjem Laptopnya temen tapi saya hilangkan.....
Dan hars ganti, er tak pnya uang.....
Ibu bsa bantu?????
Send
Beberapa menit kemudian hp ku berbunyi
Baiknya kupergi tinggalkan dirimu...
potongan syair band Ungu berbunyi keras di hp ku. Yah, lagu tersebut kujadikan nada sms ku, setelah kubuka ternyata ada sms masuk....!
Bunda:
Waalaikumslam.....
Kok bisa gtu, ya diganti...
Berpa hrganya....????
Langsung saja kubalas sms dari ibu...
Maaf, er Lalai tertidur dan paginya udh gak ada.
Hrgnya sktar 5jt an bu..!!!
Send
Hp ku kembali berdering, ibu membalas sms ku yang kedua
Bunda:
Kok banyk, dapt dr mn uang sgitu?
Kalo dbelikan sapi itu dpt dua lho er..!!!
Ya sudh, do’akn ibu dapt rejki lancr....!!!
Nnti kalo ada tak krim.....!!!!
Sms ibu tak ku balas, hanya helaan nafas panjang keluar dari hidung dan mulutku. Tak terasa buliran bening keluar dari sudut kedua mataku, “Aku menangis lagi,” kataku lirih. Jujur, mungkin ini permintaan terbesar yang pernah aku lakukan pada ibu, selebihnya aku tak pernah menambah beban ibu dalam urusan finansial (Uang, red), tapi mau gimana lagi meski berat aku harus meminta bantuan ibu.
Setelah tiga bulan menunggu kabar dari ibu, penantiaku akhirnya terjawab juga. Ibu mengabarkan sudah mentransfer uang sebanyak tiga ratus........!!!!, dan jika diuangkan kerupiah jumlahnya sekitar Sembilan jutaan. Aku pikir, uang itu lebih dari yang kubutuhkan. Menurut perhitunganku, jika diambil lima juta masih tersisa empat juta, dan sisanya itu rencananya aku simpan saja.
Bulan Ramadhan tahun kemaren, aku berencana beli laptop yang sama seperti milik Titik sembilan yang hilang. Yah, Laptop merk Compaq CQ40 warna hitam pula. Paling lambat, setelah hari raya aku dapat merealisasikan niatku itu, tepatnya setelah liburan usai aku bisa mengembalikan laptopnya Titik sembilan.
Sesampainya di rumah, setelah perjelanan melelahkan dari Surabaya aku langsung istirahat tidur, sekitar pukul 10:Wib aku terbangun oleh suara nada dering Hp ku. Ternyata sms masuk dari Pak Deku, kakak ketiga dari ibuku.
Pak De:
Er!!, maaf uangnnya yang dari ibu Pak De Pakek dulu.
Kasihan adikmu (sepupuku, red), dari dulu minta mobil.
Jadi uangnya Pak De pakai 6 jta, buat kekurangan beli mobil,
panen depan Pak De ganti.
“Janco’, pak de tae’,” teriakku, mengumpat, melampiaskan kemarahanku pada Pak Deku sendiri. Semua keluargaku menghampiriku yang sedari tadi ada di kamar, tak terkecuali ayahku sendiri.
“Ada apa Er, kamu kok misu gitu?,” selidik ayah datar, pertanyaan serupa juga terlontar dari keluargaku yang lain.
“Uang dari ibu siapa yang megang, terus kemarin juga yang mengambilnya ke Bank?,” sederet pertanyaan yang kuajukan pada ayah dan keluargaku yang lain.
“Yang ngambil ke Bank Pak Demu, yang megang juga dia,” jawab ayah tenang, sepertinya dia tak mau meladeni kemarahanku. Sementara keluargaku yang lain diam, duduk di sampingku dan sebagian berdiri tepat di belakang ayah.
“Sudahlah Er, jangan sampai kata-kata kotor itu keluar lagi, sekarang kan bulan puasa. Toh uangnnya kamu tetep ada, Cuma masih dipinjem pak demu, sebentar lagi juga diganti kok,” nasehat ayah padaku, mungkin juga usahanya untuk mendinginkan suasana dan meredam kemarahanku.
Kala itu aku memang gelap mata, aku benar-benar marah pada kakak ibuku itu. Aku tak peduli siapa dia, bahkan aku sempat berencana mempolisikan dia dengan tuduhan penipuan. Yang ada dalam benakku secepatnya uangku segera kembali, bagaimana pun caranya.
Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar...........
Takbir berkumandang di masjid dan mushalla yang ada di kampungku, sahut menyahut menggema menjadi satu, bersatu menjadikan manusia yang ada di Desa Bandilan, Kecamatan Prajekan, Kabupten Bondowoso kembali fitrah, terlahir menjadi manusia tapa noda dosa.
Usai shalat Idul Fitri, seluruh jamaah yang hadir di mushalla kampungku saling bersalaman, memaafkan dan melupakan kesalahan masing-masing. Tetapi, itu tidak berlaku padaku. Aku masih saja marah dan tak mau bermaafan dengan keluarga pak de yang telah menghempaskan harapanku.
“Kamu tidak silaturrahim ke rumah pak demu er?,” tanya ayah sesampainya di rumah.
“Buat apa saya kesana Yah, seharusnya mereka yang ke rumah minta maaf ke ayah dan ke er, kalau perlu sujud,” kataku nyerocos, sambil memendam kekecewaan pada pak de dan keluarganya.
“Bagaima pun pak demu itu kakak kandung ibumu sendiri, jangan sampai gara-gara urusan dunia tali kekeluargaan kita terputus. Apalagi sekarang hari yang fitri, kamu harus tetap pergi ke sana. Tidak usah lama-lama, cium tangan, minta maaf lalu pulang itu sudah cukup. Apa susahnya memaafkan saudara sendiri?,” nasehat ayah padaku.
Lagi-lagi aku tak bisa berkutik mendengar penjelasan ayah. Dari mana ia mendapatkan kata-kata itu?, padahal dirinya tak pernah sekolah dan tak pandai baca tulis. Ah, ayah, lagi-lagi mengajakku untuk berfikir dengan hati, bukan lagi dengan akal. Meski berat, akhirnya kulakukan permintaan ayah untuk tetap bersilaturrahim ke rumah pak deku. Ada yang baru di rumah gedung itu, sekarang sudah lengkap dengan garasi mobilnya.
Lalu, kubuka diary lusuhku, di tumpukan kertas yang aku beli sejak SMA itu juga tersedia bul poin kesayanganku, warnanya hitam tak terlalu tebal tintanya, tetapi sudah cukup membantuku melancarkan tarian tanganku merangkai kata-kata pelampiasan kekesalanku....
WarnaQ
Kuawali, oretan bul poinku dengan kata di atas.
Sekali lagi aku harus menodaimu dengan tinta bul pointku, menambahmu semakin lusuh dengan segala uneg-unegku
Hubby.....
Afwan Minny, Arjuu......!!!
Sampai kapan penderitaanmu akan terus berlanjut?, aku tak ingin air matamu selalu terurai akibat ulahku sendiri, aku tak rela jika senyummu harus meninggalkanmu gara-gara sikapku ini.
Hubby....
Sampai detik ini aku masih belum bisa mengembalikan Barang yang kau beli dengan susah payah. Untuk mendapatkan barangmu itu, dirimu rela menyisikan uang saku kuliahmu. Meredam keinginanmu mengeluarkan uang banyak tuk sekedar menghibur diri. Bahkan, uang tabunganmu pun terkuras untuk memenuhi keinginanmu itu.
Hubby.....
Apa yang kulakukan bukanlah apa-apa, jika dibandingkan dengan perjuanganmu tuk melunasi sisa pembayaran barangmu itu. Kamu tidak pernah mengatakan “Tidak” kala si Ifa meminta uang padamu, padahal sebenarnya kamu bingung kemana harus mencari uang untuk membayarnya.
Hubby.....
Kapan aku bisa mengembalikan senyummu....????
WarnaQ
Baiti Jannati
Keinginan yang tertunda, aku menganggap semua kejadian yang menimpaku dan Titik Sembilan adalah Keinginan yang Tertunda, kapan, dimana keinginan itu akan terwujud?, tak ada jawaban yang pasti, tak ada yang bisa menjaminnya. Bisa terjadi besok, lusa, bulan ini tahun depan atau bisa juga memang tak akan pernah terwujud sama sekali. Entahlah...!!!
Kubiarkan semuanya berjalan, meski tanpa seharusnya....
Yang jelas, aku juga menginginkan semuanya terwujud......!!!!
“Kamu itu tak punya otak, tak tahu diri, tak punya perasaan. Membiarkan dia menannggung bebannya sendiri, padahal bukan dia yang melakukannya, tapi dirimu. Aku doa’akan semoga..............................................,”.
Tiba-tiba ada sms masuk di Hp ku, nomornya baru, si pengirim tak mencantumkan identitasnya, isi pesannya tak jauh beda dengan kalimat yang kucetak miring di atas...!!!!!
Yah, begitulah aku.......!!!!!!!