Bismillah,
Tak lupa aku ucapkan Selamat Lebaran bagi yang merayakan. Minal aidzin wal faidzin. Taqobballahu minna wa minkum. Taqobbal ya kariim. Amiin. Mohon maaf lahir dan batin kepada semua sahabat atas kesalahan aku, terutama yang tidak aku sengaja. Semoga diikhlaskan. Dan semoga kita telah menjadi kupu-kupu indah yang siap terbang dan menyebarkan keindahan di dunia ini. Amiin.
Biasanya ketika aku merayakan lebaran, selalu tak lupa minta maaf atas kesalahan yang pernah aku lakukan kepada orang lain. Namun lebaran kali ini, aku diingatkan akan suatu hal yang tak kalah pentingnya. Memaafkan diri sendiri.
Kalau kita melihat ke belakang, pasti banyak hal-hal yang kurang berkenan di diri kita. Yang seandainya kita melihatnya kembali, kita bisa berkata:
Ah, seandainya aku tak berbuat itu
Seandainya aku tak sebodoh itu
Aku menyesal telah melakukannya, aku merasa bodoh sekali pernah melakukannya
Dan banyak lagi ucapan-ucapan yang menunjukkan penyesalan dan kebencian terhadap apa yang pernah dilakukan diri sendiri. Tidak salah. Karena pepatah mengatakan, penyesalan akan datang kemudian. Jadi penyesalan adalah hal yang wajar yang bisa dirasakan setiap manusia. Namun... penyesalan seperti apa?
Penyesalan yang berlebihan kadang menjadi tidak efektif. Tidak efektif dalam pemberdayaan diri untuk menyongsong masa depan. Kadang penyesalan dan kebencian terhadap diri sendiri malah membuat manusia hanya merenungi nasib dengan melupakan rencana ke depan. Kebencian terhadap diri sendiri yang buntut-buntutnya malah tidak membuat hati lapang dengan apa yang telah terjadi. Tidak rela dengan apa yang telah ditakdirkan Allah SWT.
Hal ini yang tidak seharusnya kita rasakan. Karena seharusnya kita bisa rela dengan apa yang telah ditakdirkan Allah SWT. Karena meskipun kita menangis darah pun, apa yang terjadi tidak bisa diulangi. Tidak usah susah-susah, coba kembalikan satu detik yang baru saja berlalu, pasti tidak bisa. Apalagi hal-hal yang sudah terjadi 1 tahun, 3 tahun, bahkan 15 tahun yang lalu. Tidak ada yang bisa merubahnya lagi. Lembaran telah kering dan pena telah diangkat, maka tidak ada gunanya menyesal berlebihan.
Penyesalan yang efektif (taubat) adalah dengan benar-benar berjanji tidak akan mengulangi perbuatan yang membuat kita menyesal tersebut, menerima apa yang telah terjadi sebagai bagian dari skenario Allah SWT untuk kita, serta memperbanyak amal baik. Nah, sering kali kita bisa melakukan proses pertama (berjanji tidak akan mengulangi perbuatan), dan proses ketiga (memperbanyak amal baik), namun proses kedua kadang terlalaikan.
Memang proses ini kadang otomatis bisa terlampaui ketika kita memperbanyak amal baik. Namun, tak jarang kita masih belum bisa berproses secara sempurna dan terus-menerus dihantui mimpi-mimpi buruk yang membuat kita membenci diri sendiri.
Proses ini, menurut aku, harus dilalui sebelum bisa berjalan dengan tegak. Proses yang bagi sebagian orang harus dilalui secara manual, perlahan-lahan seakan-akan merangkak, dan tak jarang memerlukan bantuan orang lain.
Menyalahkan diri sendiri atas kejadian bukanlah solusi. Satu-satunya solusi adalah dengan menerima bahwa semua telah ditakdirkan dan tidak ada yang bisa kita lakukan selain menerima dengan lapang dada. Kemudian memaafkan diri sendiri, dan terus berjuang agar kejadian serupa tidak terjadi lagi, serta memperbanyak amal baik.
Dengan memaafkan diri sendiri maka hati akan lebih lapang, dan ini merupakan salah satu bukti penyerahan diri kita terhadap takdir Allah SWT yang telah terjadi. Tidak mudah. Dan kadang tidak bisa dilakukan sendiri, namun bukankah manusia adalah makhluk sosial? Bila tidak bisa dilakukan sendiri, maka mintalah bantuan orang yang terpercaya. Agar perlahan-lahan pikiran buruk dan kebencian terhadap diri sendiri pupus.
Jika kita bisa memaafkan kesalahan orang lain, mengapa tak kita maafkan salah diri sendiri yang tak sempurna ini?
Biasanya ketika aku merayakan lebaran, selalu tak lupa minta maaf atas kesalahan yang pernah aku lakukan kepada orang lain. Namun lebaran kali ini, aku diingatkan akan suatu hal yang tak kalah pentingnya. Memaafkan diri sendiri.
Kalau kita melihat ke belakang, pasti banyak hal-hal yang kurang berkenan di diri kita. Yang seandainya kita melihatnya kembali, kita bisa berkata:
Ah, seandainya aku tak berbuat itu
Seandainya aku tak sebodoh itu
Aku menyesal telah melakukannya, aku merasa bodoh sekali pernah melakukannya
Dan banyak lagi ucapan-ucapan yang menunjukkan penyesalan dan kebencian terhadap apa yang pernah dilakukan diri sendiri. Tidak salah. Karena pepatah mengatakan, penyesalan akan datang kemudian. Jadi penyesalan adalah hal yang wajar yang bisa dirasakan setiap manusia. Namun... penyesalan seperti apa?
Penyesalan yang berlebihan kadang menjadi tidak efektif. Tidak efektif dalam pemberdayaan diri untuk menyongsong masa depan. Kadang penyesalan dan kebencian terhadap diri sendiri malah membuat manusia hanya merenungi nasib dengan melupakan rencana ke depan. Kebencian terhadap diri sendiri yang buntut-buntutnya malah tidak membuat hati lapang dengan apa yang telah terjadi. Tidak rela dengan apa yang telah ditakdirkan Allah SWT.
Hal ini yang tidak seharusnya kita rasakan. Karena seharusnya kita bisa rela dengan apa yang telah ditakdirkan Allah SWT. Karena meskipun kita menangis darah pun, apa yang terjadi tidak bisa diulangi. Tidak usah susah-susah, coba kembalikan satu detik yang baru saja berlalu, pasti tidak bisa. Apalagi hal-hal yang sudah terjadi 1 tahun, 3 tahun, bahkan 15 tahun yang lalu. Tidak ada yang bisa merubahnya lagi. Lembaran telah kering dan pena telah diangkat, maka tidak ada gunanya menyesal berlebihan.
Penyesalan yang efektif (taubat) adalah dengan benar-benar berjanji tidak akan mengulangi perbuatan yang membuat kita menyesal tersebut, menerima apa yang telah terjadi sebagai bagian dari skenario Allah SWT untuk kita, serta memperbanyak amal baik. Nah, sering kali kita bisa melakukan proses pertama (berjanji tidak akan mengulangi perbuatan), dan proses ketiga (memperbanyak amal baik), namun proses kedua kadang terlalaikan.
Memang proses ini kadang otomatis bisa terlampaui ketika kita memperbanyak amal baik. Namun, tak jarang kita masih belum bisa berproses secara sempurna dan terus-menerus dihantui mimpi-mimpi buruk yang membuat kita membenci diri sendiri.
Proses ini, menurut aku, harus dilalui sebelum bisa berjalan dengan tegak. Proses yang bagi sebagian orang harus dilalui secara manual, perlahan-lahan seakan-akan merangkak, dan tak jarang memerlukan bantuan orang lain.
Menyalahkan diri sendiri atas kejadian bukanlah solusi. Satu-satunya solusi adalah dengan menerima bahwa semua telah ditakdirkan dan tidak ada yang bisa kita lakukan selain menerima dengan lapang dada. Kemudian memaafkan diri sendiri, dan terus berjuang agar kejadian serupa tidak terjadi lagi, serta memperbanyak amal baik.
Dengan memaafkan diri sendiri maka hati akan lebih lapang, dan ini merupakan salah satu bukti penyerahan diri kita terhadap takdir Allah SWT yang telah terjadi. Tidak mudah. Dan kadang tidak bisa dilakukan sendiri, namun bukankah manusia adalah makhluk sosial? Bila tidak bisa dilakukan sendiri, maka mintalah bantuan orang yang terpercaya. Agar perlahan-lahan pikiran buruk dan kebencian terhadap diri sendiri pupus.
Jika kita bisa memaafkan kesalahan orang lain, mengapa tak kita maafkan salah diri sendiri yang tak sempurna ini?
Artikel bagus ;)
BalasHapus